KU PERTAHANKAN CINTA, KU TAHAN SEGALA DERITA

Namaku Aisyah dikota kelahiranku Bukittinggi, nama ini sudah diberikan pada anak-anak perempuan minang lainya. Dan nama ini disematkan lagi sebagai namaku. Niat Amak  memanggil dengan nama ini, agar aku mewarisi karakter Aisyah istri nabi yang tersohor dengan sosoknya sebagai wanita sholihah terpelajar.


Mungkin banyak doa Amak yang dikabulkan, aku sering merasa orang-orang mengagumi kombinasi sempurna ciptaan Allah antara pintar, cantik, dan sholihin yang ditujukan padaku. Setidaknya sampai aku bertemu dengan Franz.
Franz Schubert nama lengkapnya, tinggi badanya, sekitar 175 cm, kulit hidung sampai rambutnya tipikal orang barat. Tidak terlalu istimewa tapi tetap  jauh lebih ganteng dari pacar-pacarku dulu. Yang paling menarik perhatianku adalah,mata bulatnya yang biru bergerak-gerak saat berbicara namun setajam silet.    


Turis yang punya hobi travelling asal Austria ini, kudapati sedang berusaha untuk berkomunikasi dengan penduduk Minang sambil menunjuk-nunjuk Jam Gadang simbol khas Bukittinggi didepannya, Namun sayang, walaupun berkerumun orang mengelilingi pertanyaan yang terlontar kerap berbalas gelengan kepala orang-orang yang tak dikenal tanda komunikasi tidak nyambung. Sampai aku memberanikan diri ala guide dadakan memperaktikan keterampilan bahasa Jermanku.  


    “Es heist Jam Gadang, dir big ben sumatras. “ jawabku yakin walaupun ragu dengan struktur bahasanya. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya dalam bahasa jerman yang sulit dicerna otakku, tapi akau menikmati.
Persis Mimpi.


Jarum pendek diruang tengah ukiran eropa menunjukan angka tujuh diluar langit masih gelap. Semua rumah masih menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Bulan pucat masih tampak dilangit, tapi ini bukan malam. Ini awal pagi hari bahkan musim dingin membuat matahari terbenam lebih cepat dan terbit lebih lambat. Enggan menerangi hari cepat-cepat mencairkan salju yang menumpuk dijalan. Pemandangan yang tidak asing bagi warga Wina.


    Anganku melayang jauh ke Bukittinggi kota kelahiranku, mencoba membandingkan saat Jam Gadang menunjukan pukul yang sama , pasti geliat kota itu sudah terasa langit sudah terang, hawa sejuk diramaikan tawa anak-anak sekolah mengenakan rok panjang jilbab putih, sepertiku dulu. Tiba-tiba aku rindu kampung halaman, ingin membunuh dinginya kota Wina dengan sarapan nasi kapau pedas hangat khas rumah makan pasar atas Bukittinggi. 
“shactz , sarapan dulu yah, “ Franz menyodorkan  semmel roti bulat lebar berkerut-kerut mirip kuncup bunga diatasnya.


Beruntung aku memiliki Franz pria yang baik, penuh perhatian , humoris, punya  jabatan dan ganteng. Sebagaimana layaknya orang barat, Franz kadang bersikap kaku, matematis, sistematis, mendewakan logika, jarang mengikuti intuisi. Tapi kalau masalah romantis dia juaranya. Adegan ala roman kerajaan berlutut memintaku sebagai istrinya tujuh tahun yang lalu juga dilakukanya persis mimpi-mimpiku  dikala remaja.


Tapi dia bukan pria yang direstui atas nama cinta, kuabaikan perasaan Amak dan tidak ku hiraukan doanya atas makna namaku Aisyah. Aku lebih memilih untuk memperjuangkan cinta beda benua ini. Pelan-pelan aku menjadi hamba Allah Swt yang asing, tidak kulibatkan Dia, juga Amak dalam keputusan penting hidupku.


Dengan ringan kuganti penampilan jilbab warna-warniku dengan rambut berwarna-warni juga. Namaku pun berubah, disesuaikan dengan tradisi barat bagi wanita yang sudah menikah. Orang memanggilku Fran Schuberz, tergulung gulung lidahku mengeja nama itu. Walaupun tidak matching dengan kulitku yang sawo matang, tapi saat itu aku bangga.


“ Amak I miss you !” ku update status Facebook suatu hari menutupi rasa bersalah yang muncul menyesatkan. Sedetik kemudian, sebuah  komentar dari teman jauh masuk. “ Halo, bu masih betah di Wina? Upload dong foto anaknya?” Anak? Setelah tujuh tahun menikah, rasanya tinggal mimpi ini yang belum terwujud


Di Wina hidup kami sangat berkecukupan, Franz berpenghasilan sangat bagus, aku sendiri mempunyai waktu yang fleksibel untuk kerja 20 jam seminggu, setidaknya dua kali setahun kami liburan dari  satu negara ke negara lainya mengikuti Franz yang sangat hobi berkelana. Tapi kalau aku sudah menyinggung masalah anak masih selalu sama, “Schutz aku belum siap punya anak.”


Tapi Allah Swt punya rencana lain. Sakit perut yang aku keluhkan di tahun belakangan ini rupanya menunjukan ada infeksi dirahim, alat kontrasespsi yang aku gunakan bertahun-tahun atas permintaan Franz harus dikeluarkan.
Beberapa bulan kemudian kondisi kesehatanku tidak menentu, mual, pusing, dan tidak mau makan. Pengangkatan alat kontrasepsi ditubuhku membawa berita baik. Ku ketik status Facebook baru “ aku berbadan dua, doain ya !, status singkat yang mengambarkan kebahagian jiwaku. Satu mimpi lagi akan terwujud.


Bahagia Tak Bersamaan 
Ungkapan yang membuncah rupanya direspons berbeda oleh Franz. Dia murka, tidak suka keributan merusak jadwal liburan yang diatur untuk setahun kedepan dan yang terakhir  ketakutan finansial keluarga yang akan terbebani, adalah alasan atas keengananya mempunyai anak. Berbagai penjelasan berdasarkan logika barat dikemukakanya. Tapi tak bisa kupahami dengan akal timurku

.
Alasan-alasan ini yang membuat negara maju di eropa kebingungan memecahkan keengganan generasi mudanya mempunyai anak. Diprediksi  dalam hitungan puluhan tahun,bangsa-bangsa besar itu akan dipenuhi manusia manula dengan sedikit usia yang produktif. Insentif uang bahkan di iming-iming untuk setiap pertambahan anak, namun angka pertumbuhan  anak tiap tahunya masih jauh dari memuaskan.


Keningku berlipat-lipat dibuatnya menelan fenomena ini. Dalam agamaku anak adalah amanah, anugerah, salah satu ladang pahal yang luas untuk mendapat meraih  tiket ke surga. Rezeki Allah  Swt yang mengatur  asal kita berusaha. Semangat ini yang membuat tetanggaku si Uda pedagang Nasi Kapau, beranak tujuh, rela bangun dini hari menjajakan masakkanya setelah semalaman mengaduk rendang berjam-jam.


Aku yakin dengan hadirnya seorang anak kelak tidak akan membuat keadaan Franz seperti si Uda mendekati pun tidak. “ gugurkan saja schatz....” perintah Franz setengah menghardik, “ aku takut dosa! Jawabku jujur. Kalau takut dosa, kenapa kamu berani meninggalkan Amak dan menikah denganku tanpa restunya?” Franz menyindir sekaligus mengingatkan dosa besarku. “Pokonya aku mau mempertahankanya titik”. balasku khas perempuan. “terserah, tapi aku tidak peduli dan janin itu kuanggap tidak ada, ingat itu Schutz!”. 


Franz rupanya serius dengan ancamanya. Dia benar-benar menunjukkan ketidak pedulianya terhadap calon anaknya. Sikapnya semakin dingin ditambah caci maki yang kasar dan jauh dari romantisme dulu. Anehnya mertua, adik, dan, kakak ipar kompak meletakan kesalahan kepadaku. Aku dianggap tidak bisa merencanakan kehamilan dengan baik. Karenanya menurut mereka, sangat wajar janin yang diperutku digugurkan. Tentu saja aku menolak, justru semakin  bertekad untuk mempertahankan janin dalam kandunganku. Dan aku punya semangat seorang ibu, tidak takut repot kedokter tiap bulanya menembus badai salju pada suhu 17 derajat rela aku lakukan memastikan janin ini baik-baik saja. Punya semangat yang kuat bukan berarti tegar sekuat karang. Entah berapa kali air mata ini tumpah sepuasnya serentak denagan salju yang dikirim Allah kebumi    


Alhamdulillah, tujuh hari lewat dari sembilan bulan aku melahirkan. Walaupun berjuang sendiri aku tetap bersyukur pada Allah. Tidak bosan memandangi bayi mungil yang ada ditanganku sendiri. Mirip sekali dengan Franz , tapi cantik dan aku jatuh cinta. Fatimah kuberi namanya. Seperti Amakku, sesuai maknanya, kuselipkan doa dan harapan agar dia menajdi anak yang jauh dari segala jenis keburukan. Namun sepertinya Fatimah kurang beruntung. Berdasarkan hasil Diagnosa Dokter ada banyak cairan di paru-paru Fatimah, yang membuat Dia sering menangis


    Kehadiran Fatimah tidak membuat Franz berubah. Dia malah semakin terang-terangan menunjukan amarah. Tangisan malam Fatimah disambutnya dengan teriakan keras menunjukkan rasa terganggu. Dia menjadi sering pulang malam atau bahkan malah tidak pulang dengan alasan tidak betah dirumah. Sedihnya Franz mulai tega memukul ku setiap kutanyakan keabsenanya dirumah. Cerita sedih belum berakhir, Franz makin sering mengitimidasiku dan mengancam akan membunuh Fatimah. Dia menayalahkan buah hatiku atas keadaan rumah tangga yang seperti neraka. 


Demi hak Fatimah untuk mempunyai orang tua yang lengkap, aku merelakan diri menerima kekerasan rumah tangga berhari-hari, tapi aku juga manusia, ada saatnya melemah karena ujian berat. Suatu hari fatimah hendak bermanja-manja menggelayut dikaki sang Ayah, dengan rasa jijik Franz menendang bayi kecil itu sampai terhempas tidak berdaya. Aku kehilangan akal sehat, pisau dapur kujadian senjata. Kekuatan lelaki itu melumpuhkanku. Dengan mudah pisau berbalik menusuk paha atasku, sejak itu aku pincang. “cukup cerita sedih harus  aku akhiri ! “ tekad dalam hatiku. Seminggu setelahnya, dua tiket Wina – Jakarta _ Padang untuk dua orang sudah aku pegang.

 

 Kasih Anak Sepanjang galah, Kasih Amak sepanjang – panjangnya.

Amakku wanita yang sudah berumur itu berubah raut wajahnya ketika melihatku. Guratan-guratan diwajahnya tampak semakin banyak. Dia tidak marah, guratan itu berasal dari senyumnya yang sangat lebar, sambil memegang kedua tangannya. Sedetik kemudian kudapati baju Amak yang kuyakini baru dibelinya untuk menyambut kami, basah oleh air mataku.


‘maafkan Aisyah Mak! “ Amak hanya mengangguk , tak sepatah katapun terucap hanya tanganya  menunjukkan tumpukkan piring saling bersilang khas padang tersaji dengan berbagi menu santan pedas kesukaanku. Kembali ke Bukittinggi membuat batinku sembuh sedikit demi sedikit aku kembali mengenakan jilbab. Kudekati lagi Allah Swt, dengan permohonan tobatku, Fatimah sendiri tumbuh menjadi gadis yang sangat menyejukan hati keluarga besar kami, cuaca bukittinggi yang tidak terlalau dingin dan juga tidak terlalu panas membantu proses kesembuhan paru-parunya lebih cepat dari yang diperkirakan. 


Sampai sebuah telefon disodorkan Amak untukku “Fanz schubert?” teriak seorang wanita berbahasa Jerman diseberang sana. “ya” jawabku ragu, aku hampir lupa nama yang dipanggilnya barusan adalah namaku juga. “ada gugatan penculikan anak yang ditujukan kepada anda!”, Astagfirullah, cobaan apa ini ya, Allah? Aku digugat suami mencuri anakku sendiri.


    Kepulanganku kerumah Amak memang tanpa sepengetahuan Franz, tidak ada diskusi selayaknya kehidupan normal suami istri, toh dia konsisten akan ketidak pedulianya. Rupanya Franz manusia juga, berangkat dari rasa kemanusiaan yang entah kapan  datangya, Dia mengajukan gugatan penculikan anak untuk bisa bertemu Fatimah kembali.


Amak menyarankan aku kembali ke Wina Jerman. Firasat Amak benar, Franz berubah sambutanya hangat pada Fatimah. Tiap hari Franz meluangkan waktu untuk bermain dengan bocah lucu itu, yang mirip wajahnya. Mereka memang seperti anak kembar beda usia beda generasi.


Walaupun berat demi fatimah aku mencoba menumbuhkan lagi rasa cinta yang dulu aku agung-agungkan namun tertutup derita. Tidak tega rasanya merampas kasih sayang ayah yang baru saja Ia kecap. Harapan mulia ada. Sampai suatu ketika aku memergoki Franz berselingkuh dengan teman sekantor yang sempat mengisi kekosongan hati Franz selama aku ditanah air. Parahnya tidak terbesit rasa bersalah dimata mereka, aku dianggap tidak ada.


Franz semakih hari semakin berani manunjukkan ketidak setiaan. Nafkah batin yang terampas orang lain kini mulai mengurangi  jumlah nafkah lahir. Lagi-lagi kutelan saja  bulat-bulat kenyataan ini. Mata, telinga, hati bahkan logika kubiarkan tidak bekerja secara normal. Tidak ingin berdebat, aku berinisiatif kerja paruh waktu dimalam hari. Franz setuju menjaga Fatimah saat aku tidak ada dirumah.


Sampai suatu pagi i sepulangku kerja , tergopoh-gopoh melawan tiupan angin salju kubuka pintu, berharap mata ini bisa memandang lelap tidurnya Fatimah. Tapi tidak kudapati bocah gembul itu dikamarnya. Kemana Dia?, insting seorang ibu menyeret langkahku kerumah wanita pujaan hati ayahnya. Satu meter didepan pintu rumah wanita itu sudah terdengar dentuman musik yang keras, tawa yang menggelegar dan bau alkohol yang menyelinap keluar, kuketuk keras pintu , seseorang membuka ditengah lampu kelap-kelip temaram, kudapati dua bola mata Fatimah warisan ayahnya masih terjaga. Seketika Ia menangis keras, kurasakan panca indranya protes atas apa yang dia lihat,dengar, cium, rasa, dan kecap tidak sesuai umurnya.
Franz memaksaku pulang, mengancam membunuh Fatimah jika aku lapor polisi. Diperjalanan aku tau apa yang sebentar lagi akan terjadi sesampainya dirumah. Pukulan-pukulan yang harus aku hadapi namun ku kuatkan diri, atas nama Fatimah.

Rumahku – rumah Perempuan
Bekerja kembali bagiku bukan saja menutupi kekurangan nafkah lahir. Aku seperti menemukan dunia, juga pengakuan dan perhatian batu. Tapi tidak ada pilihan lain aku harus berhenti, kenyamanan dan keselamatan Fatimah tidak bisa ditawar. Kujelasakan alasanya kepada kantor, mengetahui permasalahanya mereka menyarankan menghubungi Rumah Perempuan di Wina.


Alhamdulillah Ya Allah, tidak terlepas dari pertolonganMu setelah setahun aku terjebak Abusive relationship, (hubungan yang kasar), ditambah ancaman membunuh Fatimah, membuatku merasa takut, sendiri dan tidak berdaya. Dirumah perempuan yang sudah ada  sejak 1978 ini aku bisa berbicara, mengadu sepuas hati dengan rasa aman. Sebaliknya mereka  bukan hanya mendengar tetapi memberi saran, membantu mengklarifikasi, dan mencarikan solusi, bahkan memberi tempat tinggal sementara.
Tinggal dirumah perempuan benar-benar anugerah. Fatimah berada dalam lingkungan yang sehat, aku tidak sendiri perbedaan agama, bangsa , bahasa, disatukan dengan kesamaan nasib penderitaan di akibatkan laki-laki. Aku mulai bisa berfikir jernih, berani mengukur kebelakang atas apa yang pernah terjadi.


Cinta yang dulu membuatku nyaman, merasa cukup tanpa bebagi, kini mulai terusik dari pertapaanya. Aku ingin Cerai. Atas bantuan para konsultan dirumah perempuan, aku tahu hak-hak dan prosedur untuk memperjungkan kembali. Kuhubungi kembali Franz melalui pesan pendek di ponsel, “ saat ini aku dan Fatimah tinggal dirumah perempuan. Sebagai informasi, kami sangat baik-baik saja. Tolong sisakan waktu untuk mengatur perceraian.


Bagi Franz tidak ada alasan yang kuat untuk mempertahankan perkawinan. Didepan pengadilan diakuinya. Bahwa Ia menginginkan perceraian dengan alasan ketidak cocokan. Aku sendiri cukup percaya diri asal persyaratan memperjuangkan hak asuh anak jatuh ditanganku. Aku juga butuh komitmen Franz. Untuk terus membiayai Fatimah. Pertimbanganya kakiku yang pincang akibat percecokan dulu mempersempit lapangan pekerjaan ku.


Aku dan Franz sepakat tanpa bertele-tele, kami mengisi satu fomulir perceraian ditempat kami menikah dulu. Dibantu seorang pengacara, hanya dalam waktu satu jam kami sudah dinyatakan bukan lagi sebagai sepasang suami istri.
Bersama Franz, atas nama cinta kuhadirkan derita dalam potong-potongan perjalanan hidup , tidak pernah kuduga ditempat yang sama. Didepan pengadilan,kami ukir dua sejarah, berbeda peristiwa, sama rasa, bahagia karena menikah, dan bahagia karena bercerai.


Dengan doa panjang, Tobat kepada Allah Swt aku berharap takdirr baik akan menjemputku. Aku yakin dekat dengan Allah swt, dan restu Amak, masih ada kebahagiaan lahir bathin untukku, juga untuk Fatimah, tapi bukan dengan Franz.
 

Share This Post: