JANGAN PANGGIL AKU BANCI !

Dua puluh empat tahun lalu, kelahiranku sempat mengguratkan kecewa di lubuk hati ibu yang mengandungku sembilan bulan lebih lamanya. Ibu sangat mengharapkan anak perempuan, karena ketiga kakakku semua laki-laki. Aku anak ke lima dari lima bersaudara. Kakak sulungku perempuan, mungkin karena itu pulalah ibu sangat merindukan kembali memiliki anak perempuan. Meski sedikit kecewa, namun wajahku yang tampan dengan kulit yang putih akhirnya dapat menghadirkan senyum bahagia di wajah ibuku. Bahkan, kelebihan bentuk fisikku ini membuat ibu lebih memanjakanku dari saudara-saudaraku yang lain.

 

Usia satu, dua, tiga tahun…. Belum tampak keganjilan dalam sikap keseharianku. Aku yang ceria, pandai bernyanyi dan menari masih dianggap wajar oleh keluargaku. Bahkan mereka menilai aku pintar dan lucu ! Aku memang luwes, tiap menari jaipongan ayah ibuku sangat bangga karena gerakanku yang lentur. Tapi keluwesan dan caraku berjalan yang mirip anak perempuan tiba-tiba saja menjadi mimpi buruk setelah aku masuk bangku sekolah dasar. Ejekan teman-temanku menjadi makanan hari-hariku. Mereka selalu menyebutku “Banci !”.

 

“Hey banci!” Kalimat yang biasa mereka lontarkan tiap kali berpapasan dengan teman-temanku. “Anak laki kok cantik ?!” Kata cantik sudah melekat sejak aku lahir. Saking tampan aku malah jadi kelihatan cantik. Aku tak tau, kelebihan ini patut kusyukuri atau kusesali. “Jangan main sama kita, tar nangis lagi !” Kalimat yang satu ini awalnya biasa diucapkan oleh kakak-kakakku. Aku memang cengeng, kerap membuat kakak-kakakku jengkel.

 

Tahun-tahun pertama bersekolah, aku memang berusaha untuk cuek dengan olok-olok mereka. Namun, ketidakmampuanku untuk beradaptasi dengan anak laki-laki, makin menenggelamkanku pada stigma itu. Aku tidak bisa main layangan dan kelereng karena dari kecil ibu selalu melarangku main ke sawah untuk sekedar main layang-layangan seperti anak-anak lainnya ! Akupun paling enggan untuk main bola atau balapan lari, karena penyakit asmaku membuatku tidak boleh melakukan aktifitas yang berat. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bermainku di rumah dengan Kak Rania, kakak sulungku.

 

Perlahan, keceriaanku direnggut dari hidupku. Teman-temanku menjauhiku karena mungkin aku tidak asyik diajak bermain. Pujian ayah ibuku kalau aku anak yang pintar dan lucu seolah sirna dengan kesendirian yang memilukan ini. Aku malah tampak seperti anak yang bodoh, tidak bisa apa-apa. Aku tidak pernah mengeluh kepada orang tuaku bagaimana buruknya sikap teman-teman sekolahku. Tiap menatap keletihan wajah ibuku yang harus merawat aku dan kakak-kakakku, rasanya tidak tega untuk bercerita bagaimana kesendirian menyergap rasa karena teman-teman seusiaku malu berteman dengan anak laki-laki kemayu sepertiku. Aku berusaha tegar dan mengalihkan pergaulanku dengan anak-anak perempuan. Alhamdulillah, mereka sangat menerimaku. Meski terkadang ada nada olok-olok yang samar, tapi tak apalah. Terpenting mereka welcome. Tidak menjauh ketika kuhampiri.

 

Akhirnya, aku memiliki banyak teman ! Karena teman-temanku semuanya perempuan, maka permainan yang biasa kami lakukan ya permainan anak-anak perempuan seperti main boneka dan rumah-rumahan. Pergaulanku yang lebih banyak dengan teman-teman perempuan berlanjut hingga aku duduk di bangku SMA. Bahkan mereka lebih sering curhat padaku ketimbang ke teman-teman sesama perempuan. Sementara teman-teman laki-laki semakin menjauhiku. Mereka takut dibilang “homreng” bila kedapatan jalan denganku. Kutelan kesialan ini dengan pahit. “Akh, emang gue pikirin. Terpenting aku gak homreng!” Aku menghibur diri.

 

***

 

            Hari itu, langit memperlihatkan kekalutan yang selama ini menyelimuti hari-hariku. Petir yang berkali-kali menyambar dan deru angin di luar sana makin membuat isakku semakin mengeras. Siluet wajah seorang cowok tampan membayang. Semakin keras kusebut namanya, semakin menggoreskan kepedihan yang teramat sangat !

 

“Dimas, kenapa kamu tinggalkan aku?” desisku perih.

 

Sejak setahun lalu, senyum manis cowok Jawa-Sunda itu mengisi hari-hariku ! Kehadirannya membuatku sangat bahagia. Aku mengenalnya saat aku bekerja sebagai marketing iklan di sebuah tabloid. Perkenalan yang menyebalkan sebetulnya. Dia sangat ketus tiap kali aku mengambil uang iklan di toko handpone tempat ia bekerja.

 

“Ikh, mau-maunya si bos pasang iklan di tabloid gak terkenal beginian !” cibirnya.

 

Aku yang lelah seharian keliling menagih uang iklan ke beberapa toko jelas terpancing emosi.  “Ye.. dasar gak gaul lho ! Kagak ngerti pentingnya promosi!” jawabku getas.

 

Bendahara toko itu biasanya dengan buru-buru membayar uang iklan tiap kali komunikasiku dengan cowok imut yang belakangan kutau namanya Dimas itu mulai memanas. Tapi kejutekannya tiap aku datang menagih iklan akhirnya mereda juga. Pelan-pelan ia mulai bisa bersikap manis padaku. Setidaknya, tak kudengar lagi nada ketus dari mulutnya.

 

“Jie, emang apa enaknya kerja jadi marketing iklan ? bikin muka gosong tiap hari muter- muter nyari iklan, nagih uang iklan. Aku sih ogah” ujar Dimas suatu hari. Menyiratkan keingintahuan.

 

Aku mengernyitkan alis. Tumben orang jutek ini sengaja ngajak ngobrol, aneh.

 

“BTW, yang penting dapet duit! Segini juga aku ngerasa beruntung dapet kerjaan !” jawabku. Aku tersenyum pahit.

 

Memang, buatku pekerjaan ini lumayan berat. Fisikku lemah, sesuatu yang gak mudah buatku untuk kerja lapangan seperti ini. Tapi keluhan yang kerap menelusup hati bisa kutepis selama ini. Aku jalani aja yang ada. Prinsipku.

 

Di tabloid tempatku bekerja memang aku diperlakukan istimewa. Meski mereka meragukan kemampuanku karena aku tampak lemah namun akhirnya aku diterima juga sebagai marketing iklan. Itu karena Kak Rania memiliki posisi sebagai redaktur di sana.

 

Kak Rania sangat menginginkanku bekerja di lapangan. “Agar kamu sedikit macho,” tegasnya. Ia memang satu-satunya kakak yang sangat perhatian padaku. Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Memang dulu dia terkadang memperlakukanku seperti memperlakukan adik perempuan. Aku suka didandani seperti perempuan. Bibirku kerap dipolesi lipstick, pipiku diblush on agar tampak cantik. Akh, kadang geli jika mengingat semua itu. Tapi lagi-lagi aku maklumi, jika itu semua karena Kak Raniapun menginginkan adik perempuan. Dan melihat sosokku yang lembut, mungkin ia lupa kalau aku ini terlahir laki-laki.

 

Tapi setelah Kak Rania dewasa, sikapnya padaku berubah 360 derajat. Kak Rania malah menuntutku untuk tampil maskulin. Ia sering sebal bila melihatku kebanci-bancian. Itulah sebabnya, ia mengajakku untuk mau kerja lapangan seperti ini, dan sempat berang ketika waktu aku lulus SMA sempat mengikuti kursus potong rambut dan tata rias. Entahlah, dari mana asalnya sampai terbersit  untuk bekerja di salon. Aku melihatnya sebagai profesi yang menyenangkan. Tidak panas-panasan dan selalu rapi dan wangi. Tapi, desakan Kak Rania untuk bekerja di tabloidnya membuatku sulit untuk menolak. Ya, aku tak ingin mengecewakannya. Akupun bersedia tinggal di rumah Kak Rania di Kota Cirebon.

 

Pelan-pelan aku pun mulai bisa mengikuti irama pekerjaanku. Bukan hanya karena nilai financial semata yang lumayan kuperoleh yang semakin memotivasiku, namun karena profesi ini pula aku bisa bertemu dengan seorang Dimas, cowok jutek itu yang kemudian merubah hidupku jadi ceria.

 

Dimulai dari percakapan-percakapan kecil dengan Dimas tiap aku ke toko itu, akhirnya membuat kami sangat akrab. Dia mulai berani minta nomor HP dan rajin SMS. Kadang aku merasa risih dengan perhatiannya yang over, tapi diam-diam aku mulai menikmatinya. Senyum selalu terukir tiapkali kubaca sms-sms mesranya. Kedekatanku semakin intim, kami laksana sepasang kekasih.

 

Aku sadari, hubungan ini sangatlah tidak wajar. Tidak akan ada yang mau mentolelir hubungan sejenis ini. Tapi kelembutannya, perhatiannya dan canda tawanya telah menyulap hidupku yang hening. Aku merasa memiliki makna tiap ada di dekatnya. Dia tak pernah mencelaku, malah kerap menghibur keluh kesahku.

 

Memang sulit mengartikan rasa yang hadir ini. Cinta? Entahlah, aku tak pernah merasakannya sebelumnya. Yang pasti, sedetikpun wajahnya tak pernah pergi dari pikiranku. Tiap hari aku harus selalu menemuinya, untuk mengobati dahaga kerinduan yang sangat. Aku tak bisa lagi focus dengan pekerjaanku, aku jadi sering berbohong pada Kak Rania hanya untuk bertemu dan bertemu dengannya. Kamar kosan Dimas menjadi saksi bisu sangat membaranya cinta kami.

 

Namun, hubunganku dengannya akhirnya tercium juga oleh kak Rania. Awalnya dia sering tampak gusar bila melihatku berlama-lamaan ngobrol di telpon dan selalu mengintrogasiku tiap kali aku mengaku menginap di rumah teman. Kak Rania tak tinggal diam, ia mulai menyelidik siapa yang akhir-akhir ini dekat denganku. Saat semua telunjuk mengarah ke arah Dimas,  Kak Rania murka ! Tamparan telak meninggalkan lebam di pipi kiriku. Kakak sulungku yang selama ini selalu melindungiku kini menamparku seiring dengan teriakan histeris.

 

“Kamu tega mengecewakan kakak!” air matanya tumpah ruah. Aku merundukan wajahku. Tak tahan menatap wajah luka kakakku.

 

“Sejak awal kakak sudah cemas dengan kelainanmu. Kakak pikir hanya sebatas fisik, ternyata jiwamupun rusak !” suara kakak masih meninggi. Ia mulai mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku hanya terdiam. Membayang wajah Dimas. Cintanya… kasih sayang Dimas padaku selama ini teramat berarti buatku.

 

Aku menengadah. Mencoba menatap mata basah kakakku. Kak Rania kembali mencecarku.

 

“Syetan apa yang menyelinap dalam hati kamu. Sehingga kamu memilih jalan laknat itu Ajie ?!” telunjuknya menyentuh jidatku. Tampak kebencian dari sorotan matanya. Tiba-tiba aku terluka dengan kalimat yang dilontarkan Kak Rania barusan. Kenapa dia tak mau memahami perasaanku ? Harus begitukah caranya ia menyikapi pilihanku ?

 

Aku bangkit. Tanpa sepotong katapun aku beranjak dari hadapan Kak Rania, masuk ke kamar dan mengemasi barang-barangku. Kak Rania mengejarku.

 

“Dasar keras kepala! Kamu mengabaikan kakak sendiri demi manusia brengsek itu?”

 

Lagi. Kak Rania memaki belahan jiwaku. Harus pergi ! hanya itu yang terbersit di kepalaku. Aku bosan caci maki. Aku benci semua orang. Mereka hanya bisa mengolok-olokku dan menekanku. Tidak dengan Dimas ! Dimas adalah hidupku. Ya, Dimaslah hidupku.

 

Kutinggalkan Kak Rania yang terisak di pojok kamarku. Sedikitpun aku tak lagi menolehnya. Aku hanya mengejar bayangan Dimas. Karena Dimaslah hidupku.

 

“Sudahlah. Tak akan yang mau memahami kita. Terpenting kita tak terpisahkan. Itu cukup membahagiakan buat kita !” suara lembut Dimas membasuh kesedihanku saat kudatangi kamar kosnya dengan langkah gontai. Dia memelukku erat. Kutatap bening matanya, memastikan kesungguhan.

 

“Janji, kita takan terpisahkan?” tanyaku. Dimas menatap lekat.

 

“Aku bersumpah !”

 

Akhirnya aku dan Dimas pindah profesi dan tempat tinggal. Ke Kota Kembang Dimas memperkenalkan beberapa temannya yang bekerja di salon. Ia mensupportku untuk menjadi diri sendiri. Memilih profesi yang tepat dengan naluri. Aku menyukai keindahan. Dunia tata rias wajahpun aku tekuni. Akupun mulai diterima bekerja di sebuah salon. Teh Rini, pemilik salon tempatku bekerja sangat menyukaiku. Katanya aku pembawa hoky. Sejak aku bekerja, jumlah pelanggan meningkat. Mungkin karena aku ramah dan hasil riasanku maksimal.

 

Aku makin enjoy dengan pekerjaanku. Permintaan Teh Rini untuk kerja lembur hingga malam membuatku mulai kurang memberi perhatian pada Dimas. Tiap aku pulang ke kosan tempat kami tinggal, pertengkaran demi pertengkaran mulai mewarnai hari-hari.

 

“Kamu berubah!” rajuk Dimas.

 

“Plis, jangan salah paham dulu. Aku lagi focus kerja, untuk bayar kosan kita, hidup kita yank…!” aku memohon.

 

Dimas memalingkan muka. Isak tertahan mulai terdengar. Perasaanku makin tak karuan. Aku tak mau melihatnya menangis !

 

Seperti biasa, aku harus habis-habisan merayunya agar senyumnya kembali hadir. Karena tautan hati yang sudah erat, pertikaianpun akhirnya dapat reda juga.

 

***

 

Suatu hari, dengan riang Dimas mengabariku bahwa ia kini diterima bekerja di sebuah kape. Aku sangat gembira. Sejak ia menganggur paska kepindahan ke kota Bandung ini, ia agak murung. Apalagi aku sangat sibuk dengan salonku. Kerja di kape mudah-mudahan mengubah hari-hari suntuknya dengan aktifitas yang menghasilkan uang. Harapku.

 

Namun, kafe tempat ia bekerja ternyata menjadi trouble maker untuk hubunganku dengan Dimas. Di sana Dimas diam-diam nyambi melayani om-om berduit. Awalnya aku hanya mendengar rumor dari teman-temanku, namun kemudian aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

 

Malam itu, pukul 10 malam aku sepulang dari salon aku mencoba menyelinap ke kape itu. Kudapati Dimas duduk diapit dua lelaki tua dengan minuman berantakan di atas meja. Aku mencoba menahan diri untuk tidak menampakkan kehadiranku. Sejurus kemudian, aku melihat Dimas dan 2 lelaki tua itu keluar kape menuju sebuah mobil Honda Jazz. Makin penasaran aku ikuti ke mana mereka pergi. Mobil mewah itupun berhenti di sebuah hotel. Saat mereka memasuki kamar hotel aku menubruk tubuh Dimas. Aku menamparnya bertubi-tubi. Aku kalap. Kedua lelaki tua itu lari meninggalkan kamar hotel. Meninggalkan kemarahanku yang memuncak.

 

“Aku muak sama kamu! Benci !!!” aku meludahi wajah Dimas. Kutinggalkan tubuh lemas Dimas. Aku kecewa. Kupikir selama ini ia hanya bercinta denganku. “Dasar pelacur !” gerahamku gemeretak.

 

Hingga malam berganti pagi, Dimas tak jua datang ke kamar kosan. Kupikir ia akan mengikutiku, meski aku masih sangat marah. Tapi nyatanya dia tak mau pulang. Cemas, tapi kemarahanku membuatku ingin melupakannya. Keesokannya aku kembali bekerja, meski kegelisahan masih menelikung perasaanku. Kemana Dimas?

 

Satu, dua, tiga hari. Dimas tak juga pulang. Aku masih dapat mencoba mengalihkan pikiranku pada pekerjaanku. Tapi, kepergiannya yang tanpa jejak terus berlangsung hingga berbulan-bulan. Kutanyakan ke kape tempat ia bekerja, mereka bilang Dimas tak lagi bekerja sejak aku labrak. Kabar dari teman-temannya pun tak ada yang bisa membuatku lega.

 

Dimas benar-benar pergi.

 

Rasa bersalah makin menyeruak.

 

“Maafkan aku…” aku sangat menyesali peristiwa malam itu. Terbayang gelak tawanya, belaiannya. Aku tak tahan didera rasa bersalah dan rindu tak berujung ini.

 

Jalan hidupku makin tak sehat. Aku mulai sering bolos kerja. Dunia malam menjadi pelarian kesepian dan kesedihanku. Karena jengkel, akhirnya teh Rini memecatku. Aku makin terpuruk. Dan… melayani om-om berduitpun akhirnya menjadi pilihanku.

 

“Kepalang tanggung…” pikirku.

 

Kutatap wajah pucatku di depan cermin. Aku tersenyum kecut.

 

“Dasar pelacur !” ucapku getas. Kalimat yang pernah kulontarkan pada sosok Dimas. Orang yang teramat kucintai.

 

***

 

 

Suara ketukan pintu membangunkanku.

 

“Jie, makan dulu. Siang ini kamu belum minum obat !”

 

Kubuka daun pintu dengan enggan. Tampak wajah pendiam ibu menatapku khawatir.

 

“Jangan di kamar terus. Kamu butuh udara segar agar cepat sembuh!” Ibu meletakkan sepiring nasi lengkap dengan lauknya, dan segelas air putih.

 

Aku terdiam. Kutatap makanan itu dengan mual. Teriakan keras bapak membuat ibu tak bisa berlama-lama. Bapak memang lebay, sejak kecil aku sering menyaksikannya memerintah ini itu sama ibu. Wajar bila ibu tidak bisa sepenuhnya memberi perhatian pada anak-anaknya, karena telunjuk bapak yang kerap menyibukannya.

 

Kuseka wajahku yang berkeringat dingin. Semalam tak bisa tidur. Aku harus bertarung dengan rasa sakit yang teramat sangat. Sejak beberapa bulan terakhir, usus besarku sakit dan kerap mengeluarkan darah. Bahkan nanah ! benjolan besar di lubang anusku menyulitkanku untuk duduk atau telentang. Tak tahan dengan penyakit ini aku memutuskan pulang ke rumah ibu. Setidaknya, di sana ada yang menyediakan makanan untukku. Tak seperti di kosan yang serba harus sendiri.

 

Dokter bilang aku kena ambeyen. Obat-obat ambeyen aku telan namun tak sedikitpun memperbaiki kondisi kesehatanku. Selintas wajah lembut Dimas hadir di mataku, namun bayangan wajah-wajah menyeringai om-om tua yang kulayani di hotel-hotel berbintangpun turut mengisi ruang otakku. Membawaku pada pusaran yang mengerikan ! Aku menelungkupkan wajah. Dadaku berguncang. Tangis yang tak lagi berarti. Aku tak yakin penyakit ini sekedar ambeyen. Aku tak yakin.

 

Tiba-tiba seraut wajah Kak Rania membayang.

 

“Kakak..” aku menangis sejadi-jadinya. Aku histeris!

 

Ibu lari ke kamar.  Wanita lembut yang jarang mengumbar kata-kata itu tampak bingung. Ibu memelukku. Sama persis seperti memelukku saat aku kecil dulu bila kakak-kakakku menggangguku. Aku sesenggukan.

 

“Bu…minta nomor hape Kak Rania. Dulu nomornya kehapus” suaraku serak. Ibu bergegas dan kembali membawa secarik kertas. Dengan tangan bergetar angka-angka di keypad aku pijit.

 

“Sakit apa? Sakit apa Jie???” lengkingan suara Kak Rania terdengar gusar di ujung telepon saat kukabari aku sedang sakit. Aku menangis. Tak bisa menghentikan tangisan sesakku. Hampir satu tahun aku tak mengabarinya. Dulu saat nomor handphoneku belum kuganti, Kak Rania terus menghubungiku dan memintaku kembali ke rumahnya. Kak Rania sangat menyesali sikap kerasnya. Tapi saat itu aku terlanjur sakit hati dan sangat buta dengan cinta yang terlarang itu. Akupun berganti-ganti nomor HP agar jejakku tidak terlacak kakakku.

 

Kucoba menetralkan perasaan bersalah dan perasaan sedihku mendengar kembali suara kakakku. Tanpa ragu kuceritakan penyakitku. Kak Rania terdiam. Sejenak hening.

 

“Jie, katakan sejujurnya sama kakak, Ajie sering ML lewat belakang?” tanyanya dengan nada ragu.

 

“Ya kak. Bukan hanya dengan Dimas aku suka ML lewat anus, tapi sudah sering kulakukan juga dengan orang-orang yang tak kukenal..” jelasku. Aku pasrah sekarang. Aku tak peduli bagaimana reaksi Kak Rania nantinya.

 

Suara tangis kak Rania terdengar perih dan sangat lama. Aku terdiam hingga akhirnya kudengar suara telpon yang ditutup. Kak Rania sangat kecewa. Tentunya kekecewaan yang kesekian kali dan teramat sangat ! Melebihi apapun.

 

Seminggu kemudian, Kak Rania menjemputku.

 

“Tinggal di rumah kakak aja Jie. Agar kakak bisa membantu kesembuhanmu” ujarnya dengan air mata membasahi wajah tirusnya. Kakak tampak kurusan sekarang.

 

“Gak apa-apa kak, Ajie di sini aja” kataku.

 

Kak Rania menggeleng.

 

“Tidak. Kamu harus ikut kakak. Apa yang terjadi sama kamu sekarang akibat ulah kakak…” kakak kembali memohon. Tampak rasa bersalah di raut wajahnya.

 

“Jie, sejak kepergianmu, kakak didera rasa bersalah. Tak seharusnya kakak bersikap terlalu keras waktu itu. Mestinya kakak memperlakukanmu seperti memperlakukan orang yang harus kakak tolong. Bukan menampar dan mencaci maki..”

 

“Sudahlah kak, wajar kakak marah. Maafin Ajie kak… saat itu Ajielah yang salah. Tidak perlu pembenaran dan pembelaan untuk orang-orang sepertiku kak…” mataku menerawang. Kebahagiaan semu. Itu yang kulihat dari cara hidupku selama ini.

 

Kak Rania memelukku.

 

“Kakak senang Ajie dah kembali…” bisiknya lembut.

 

Karena kak Rania terus memohon agar aku tinggal di rumahnya, akhirnya kuturuti juga. Di sana aku diberi beberapa obat herbal. Awalnya obat-obatan itu mampu mengurangi penderitaanku. Pencernaanku mulai stabil. Namun lama-lama obat-obat itupun tak mampu mengatasi penyakitku.

 

Kesedihan nampak sekali di wajah kakak tiap kali aku keluar dari toilet dengan muka pucat pasi. Buang air besar bagiku mimpi buruk. Aku selalu kesakitan tiap buang air besar. Darah, nanah kadang menyertainya.

 

“Sabar sayang. Jadikan rasa sakitmu sebagai pembersih dosa. Syurga itu mahal, mungkin kita harus mau menebusnya dengan berbagai rasa sakit” ujarnya suatu hari.

 

Kuresapi kata-katanya. Sangat dalam. Mungkin sebuah pengampunan itu tak semudah kata-kata, ada konsekwensi yang harus kuterima. Meski terkadang aku putus asa untuk memperoleh pengampunan Allah, namun aku sangat berharap Allah mengampuni dosaku.

 

“Mungkin kita harus mau menebusnya dengan berbagai rasa sakit…”  kalimat itu mengiang-ngiang di gendang telingaku.

 

“Iya kak… tak ada yang mampu kulakukan sekarang selain ikhlas” kataku dalam hati. Suara adzan magrib yang sayup kudengar di mesjid kampung membuatku menengadah ke atas langit. “Rabb, aku sudah lama menjauhi dan meninggalkanmu. Bila sakit ini mampu mendekatkanku dengan Mu aku harus bahagia menerimanya…” lirihku. Cairan hangat mengaliri pipiku. Ampuni hamba ya rabb.

 

***

 

 

“Kak, aku mau pulang aja” kataku suatu hari.

 

“Kamu jangan menyerah. Kalau perlu, usus besarmu dioperasi seperti dianjurkan dokter kemarin” tukasnya.

 

“Gak perlu kak. Aku tak yakin dengan diriku sendiri. Aku tak yakin dengan semua diagnose itu…”

 

Aku heran kenapa dua kali berobat ke dokter semua mengatakan aku hanya terkena wasir. Bukankah banyak dari para penderita penyakit itu yang sembuh? Tidak sepertiku yang tak juga mengalami perubahan. Pernah kubaca di sebuah majalah, bahwa tak selamanya wasir adalah wasir. Artinya, belum tentu penyakit yang tampak seperti wasir itu adalah wasir. Bisa jadi kanker usus ! Tapi aku tak berani menanyakannya pada dokter. Aku takut dengan kenyataan bila ternyata memang aku terkena kanker.

 

“Tidak kak. Aku tetap harus pulang” aku bersikeras.

 

Aku tidak bisa menjelaskan alasan keinginanku untuk kembali ke rumah ibu. Entahlah, aku merasa sangat ingin dekat dengan ibu. Seperti hari-hari masa kecilku dulu.

 

Kakak tak bisa mencegahku lagi. Aku bersikukuh untuk pulang. Genangan air matanya kembali menengelamkan wajah tegar kakakku saat melepasku tinggal kembali di rumah ibu.

 

Mungkin, kakak pun sudah mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Bahwa kepulanganku ke rumah ibu bukan kepulangan biasa. Seminggu kemudian, tubuh lemah itu kehilangan kesadaran. Ajie hilang ingatan, tubuhnya semakin kurus. Akhirnya, hari itupun tiba. Raganya tak lagi mampu menahan dera dan siksa. Ajie pulang ke Sang Maha Kuasa dalam pelukan ibunda tercinta dengan meninggalkan pesan di tembok kamarnya yang temaram dengan tinta warna hitam.

 

“Jangan panggil aku banci dan jangan ikuti jejakku…”

 

***

 

Share This Post: