Antara AKU, KAU, dan KUA

ADZAN Isya berkumandang ke empat penjuru arah dari pengeras suara Masjid. Rizal mendengar alunannya dari dalam angkot super padat yang tengah ia tumpangi. Saking padatnya, hingga kedua kakinya harus melipat kuadrat, bahkan Pak tua yang duduk paling pinggir malah harus rela mukanya menempel erat di kaca seperti ikan cupang yang megap-megap kehabisan nafas. Sedangkan tante-tante gemuk di sampingnya tak henti mengipasi diri dengan sehelai saputangan, menyebarkan aroma yang aduhai, perfect mixing antara jus mengkudu, kaus kaki basah, dan terasi basi.

 

Demi mendengar suara Muadzin yang cedal, hingga lafal hurup ‘r’ dan ‘l’ mendapat status “disamakan”, Rizal jadi sedikit terhibur di tengah ketersiksaannya itu. Adzan isya itu memang spesial, sedikit terdengar nyentrik dan menggelitik telinga bagi para penumpang angkot yang berjubel. Mungkin juga bagi seantero warga perumahan tempat tinggalnya Zainab, akhwat cantik berlesung pipit yang hendak ditemuinya. Suara adzan baru selesai ketika Rizal baru saja turun dari angkot, persis di depan gerbang perumahan yang menjadi tujuan. Seraya merogoh saku celana, Rizal menyodorkan selembar uang di atas dashboard.

 

“Kembaliannya ambil aja, Bang. Lumayan buat beli cendol.” ujar Rizal pede. Melihat jumlah selembar uang yang disodorkan, sopir angkot malah menggerutu sebal.

 

“Blagu lu tong, lebih seribu perak aja songong banget lu! Cukup buat bakwan sebiji doang, bukan cendol segelas. Dasar cendol lu!” timpal sopir dengan gerutuannya, lalu angkotnya pun kembali tancap gas. Tinggal Rizal yang celingak-celinguk di pinggir jalan mencari keberadaan Masjid buat ikut shalat isya berjamaah.

 

“Ya Allah, naik angkot aja pada berjamaah, berdesakan, berjubel, belasan orang saling tindih, saling himpit, tanpa ac, tanpa kipas, tanpa kenal usia dan batas kewajaran aroma ketek. Tanpa mengenal status, golongan, ras, agama, maupun muhrim atau bukan. Masa buat shalat aja masih pada malas berjamaah ke Masjid? Padahal Masjidnya dipasangi kipas angin, bahkan ada yang dipasang semriwing ac. Ah, malu-maluin isi KTP!” celoteh benaknya sambil mencari arah menuju Masjid sebelum iqamat keburu berkumandang.

 

Beberapa orang bapak-bapak berpeci, berbalut gamis, dan kain sarung melilit di pinggang tiba-tiba muncul dari sebuah gang. Akhirnya Rizal pun mengikuti mereka dan tiba di depan sebuah Masjid dengan dua shaft jemaah yang telah berbaris rapi, siap mendirikan shalat. Iqamat pun segera dikumandangkan, lagi-lagi suara cedal yang memancing senyuman terdengar. Rizal menyempatkan melirik ke arah mimbar, ternyata suara unik itu milik seorang bapak setengah baya berperawakan tinggi, berperut tambun, dan berjanggut jarang. Jemaah pun merapat dalam shaf, kekhusyuan memenuhi ruangan beralas karpet tebal seiring suara takbir Sang Imam.

 

***

 

RUMAH dengan eksterior bersahaja namun enak dipandang itu tepat berada di hadapannya. Sesuai janjinya pada Zainab, gadis yang senyum manis dan lesung pipitnya kini bersemayam di hatinya, tiap detik, menit, dan jam bahwa ia akan bersilaturahim untuk mengenalkan diri pada keluarganya. Pintu itu pun perlahan terbuka setelah Rizal memijit bel yang berada di samping kiri gerbang berteralis. Seorang ibu-ibu berjilbab lebar dan bergamis motif batik memandangnya dengan tatapan penuh tanya.

 

            “Assalamu’alaikum, Bu. Kenalkan, nama saya Rizal, teman sekantornya Zainab,” dengan sebaris kata yang diucapkan dengan terbata-bata, disertai senyuman bersahaja demi menjaga imej pada calon mertua, Rizal memperkenalkan diri. Ibu berjilbab lebar itu pun menyambutnya dengan ramah lantas mempersilakan  masuk Rizal ke ruang tamu. Tak lama kemudian, dari balik ruang tengah muncul sosok bersarung yang Rizal temui sebelumnya di Masjid. Tentu saja, lelaki setengah baya berbadan tambun dengan janggut jarang tumbuh dan menghiasi dagunya. Rupanya beliau masih mengenali tamunya.

 

“Anak yang tadi ikut shalat beljamaah di Masjid ya?” tanyanya dengan suara cedal yang menggelitik. Rizal mengangguk. “Saya Rizal Pak, teman sekantol, eh…sekantor Zainab. Mohon maaf mengganggu waktu istilahat, eh…istirahat Bapak.” Rizal malah jadi ikut-ikutan cedal. Ayah Zainab pun terlihat tak senang, wajahnya terlihat muram seketika.

 

“Kamu sengaja ngeledek saya ya?” matanya dan alis tebal yang memayunginya menatap Rizal dengan tajam, tepat di hadapan. Mendapat perlakuan dari ayah Zainab seperti itu membuat hati Rizal ketar-ketir. Buru-buru ia meralat kekeliruan ucapannya. “Tidak Pak. Tidak sama sekali. Duh…mohon maaf, wallahi sama sekali saya tidak bermaksud menyinggung atau meledek pengucapan Bapak yang…hmm, cedal.” Rizal pun semakin tak enak hati.

 

Tiba-tiba tawa laki-laki setengah baya itu pecah, tergelak-gelak menertawakan Rizal yang tiba-tiba berubah gugup dan salah tingkah. “Ayaaaah, senengnya kok bikin tamu senewen. Kasian kaan?” ujar Ibu Zainab yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan berisi minuman dan beberapa toples cemilan. Lelaki setengah baya itu hanya tertawa, candaannya sama sekali tak lucu. Rizal mengelap keringat yang membasahi dahinya dengan selembar tisu.

 

“Maaf ya nak Rizal, ayahnya Zainab mah kayak gitu orangnya, seneng bikin orang lain senewen.” Perempuan berjilbab lebar itu berseloroh seraya menghidangkan apa yang dibawanya dari dapur lalu mempersilakan Rizal agar mencicipinya. Rizal hanya mengangguk sopan, lelaki di depannya tampak tengah menyeruput secangkir kopi pesanannya.

 

“Ayo, jangan malu-malu silakan dicicipi cemilan dan minumannya. Mau dibungkus buat dibawa pulang juga ga apa-apa, hehe.” Leluconnya yang garing masih belum puas membuat Rizal merasa jengah. Kepala keluarga yang aneh, bathinnya. Akhirnya dua pasangan itu berpindah duduk ke ruang tengah yang hanya terhalang sekat hiasan kotak kayu nan cantik, seraya menikmati tontonan di layar TV. Tampak pintu kamar Zainab yang berada di tentang arah dengan ruang tamu terlihat terbuka, dan keluarlah sosok yang sudah Rizal nantikan.

 

Malam itu Zainab begitu anggun, berbalut jilbab berwarna abu-abu, senada dengan gamis bercorak bunga Lilly yang dikenakannya. Dengan riasan minimalis yang menghiasi wajah ovalnya, ia terlihat sangat cantik bagaikan bidadari. Rizal sesaat terpana menatap pemandangan indah yang ada di hadapannya, namun segera ia memalingkan pandangan agar mukanya yang memerah oleh perasaan malu dan juga grogi tak terlalu ketara dilihat Zainab. Perbincangan pun yang semula terasa kaku mual mencair, diselingi dengan guyonan-guyonan ringan. Terkadang dari ruang tengah, ayah Zainab menimpali dengan leluconnya yang garing. Namun kunjungan pertama kali itu terasa akrab dan penuh dengan nuansa kehangatan.

 

Sebagai anak semata-wayang, Zainab tak serta merta dimanjakan oleh kedua orangtuanya, namun sikap disiplin dan mandiri menjadi bekal hidupnya dari kecil hingga menjelang dewasa seperti sekarang. Rizal semakin merasa dekat dan tak lagi canggung dengan keluarga Zainab, hingga pada kunjungannya yang ketiga, Rizal tak lagi datang sendirian, melainkan disertai ayahnya yang seorang pensiunan yang ramah dan juga senang humor. Ibunya yang telah berpulang tiga tahun yang lalu karena kanker menjadi topik awal pembicaraan mereka berempat di ruang tamu bernuansa asri itu.

 

“Rizal ini, Pak, Bu, juga Zainab, semasa kecil sangat pemalu, tapi alhamdulillah ga pernah malu-maluin orang tua, hehe. Saking pemalunya, tiap kali dia mandi di kamar mandi rumah apalagi berenang di kolam renang buat umum, tak pernah sekalipun dia mau membuka pakaian, meski baju sekalipun, apalagi celana…” tutur ayah Rizal mengenang masa kecil anak semata-wayangnya. Di sampingnya, Rizal yang merasa keberatan masa lalunya kembali dikisahkan sang ayah, berusaha memberi tanda keberatan pada ayahnya yang acuh tak acuh. Ayah dan ibu Zainab, begitu pula dengan Zainab-nya sendiri tertawa renyah mendengar ulah-ulah lucu Rizal semasa kecil. Dan pada akhirnya…

 

“Dan maksud serta tujuan kami berdua kemari, tak lain dan tak bukan adalah hendak melamar Zainab untuk…saya, eh bukan maksudnya untuk anak saya, Rizal.” Ayah Rizal tertawa terkekeh-kekeh melihat raut muka anaknya yang merasa jengkel. Ayah dan Ibu Zainab saling pandang, kemudian tatapan mereka tertuju pada anak gadisnya yang duduk di sudut ruangan.

 

“Alhamdulillah, maksud dan tujuan Bapak yang balu saja diutalakan, kami telima dengan gembila. Namun, bagaimanapun keputusan ada pada anak saya, Zainab, yang sudah kami besalkan dan kami didik semampu kami dali kecil hingga dewasa.” ujar ayah Zainab dengan logat cedalnya. Ayah Rizal yang bawaannya senang guyon pun menimpali,

 

“Jadi gimana menulut Zainab, apa belsedia dengan lamalan bapak buat anak bapak, yakni Lizal?” kontan tawa pun meledak di ruangan tamu itu. Ayah Zainab terkekeh-kekeh, begitu juga Ibu Zainab, sedangkan Rizal malah tak enak hati dan berusaha memperingatkan ayahnya agar tak keterlaluan bercanda. Ayah Zainab segera menegur Rizal, 

 

“Tidak apa-apa Nak Lizal, bapak malah senang dengan bapak kamu yang sense humornya tinggi ini. Sepeltinya kami beldua bakalan cocok jadi besan, hehe. Iya ga Bu?” sambil melirik istrinya yang hanya mengangkat bahu menghadapi dua laki-laki setengah baya yang sama-sama konyol itu. Zainab yang kemudian menjadi pusat perhatian, hanya menundukkan wajahnya menatap motif lantai, menyembunyikan raut mukanya yang memerah.

 

“Sebagai Ibunya, saya sangat gembira dengan niat Bapak dan juga Nak Rizal untuk melamar anak gadis kami satu-satunya. Namun, apa Nak Rizal sudah benar-benar siap mengarungi bahtera rumah tangga, khususnya sebagai imam buat Zainab?” ibu Zainab bersuara. Rizal mengangguk, berusaha mengukuhkan niat dan tekadnya untuk menyempurnakan sebagian agama pada dirinya dan juga calon istrinya, Zainab.

 

“Insya Allah, Bu, Pak…Saya selama ini berusaha memperbaiki diri dan kadar iman, serta amal ibadah saya untuk mengemban tugas sebagai imam sebuah rumah tangga yang akan saya arungi. Tentu saja, banyak kekurangan diri saya yang belum saya genapi, dan Insya Allah Zainab-lah yang kelak bertindak sebagai makmum yang menggenapi dan memperingatkan saya menuju kesempurnaan akhlak,”

 

“Insya Allaaaaaah…” ujar yang hadir di ruang tamu bersamaan. Mereka berlima merasakan kebahagiaan melingkupi ruang tamu sederhana itu dengan rahmat dan berkah, menuju penyatuan dua hati anak-anak mereka dalam bingkai rumah tangga yang samara.

 

***

 

PAGI itu, di sebuah Masjid yang berada tepat di depan rumah Zainab, suasana penuh sesak oleh kehadiran sanak keluarga famili dari kedua pihak, keluarga Rizal dan juga keluarga Zainab. Acara ijab kabul pagi itu berlangsung dengan khidmat. Bertindak sebagai penghulu tak lain dan tak bukan adalah ayah Zainab, sekaligus wali yang menikahkan anak gadis semata wayangnya.

 

            “Lizal bin Daud, saya nikahkan ananda dengan anak saya, Zainab binti saya, hmm…maksud saya Zainab binti Helmansyah, dengan mas kawin pelhiasan sebelat 10 glam tunai,” suara ayah Zainab yang cedal tentu saja mengundang senyum geli hadirin di ruangan Masjid itu.

 

            “Saya telima, ehh maaf…terima anak bapak Zainab binti Herlmansyah, ehh…maaf Hermansyah, dengan mahar berupa perhiasan seberat 10 gram tunai.” Rizal dengan sigap mengikuti perkataan ayah Zainab yang bertindak sebagai penghulu sekaligus wali.

 

Ayah Zainab melirik kepada para hadirin yang berada di sekitar ruangan Masjid yang mengikuti acara ijab kabul berlangsung.

 

“Bagaimana hadilin? Saaaah???”

 

“Ssssssaaaaaahhhhhhh!” jawab hadirin secara serempak. Semua yang hadir tampak bahagia menyambut pasangan pengantin baru Rizal dan Zainab. Penghulu yang bertindak sekaligus wali pun segera memimpin doa yang diaminkan oleh seluruh yang hadir. Rizal dengan raut muka penuh kebahagiaan menatap wajah istrinya, Zainab, yang tampak cantik dengan riasan pengantin laksana bidadari. Mereka berdua saling melemparkan senyuman bahagia. Barakallahulakuma wabarakallahuma wajamabainakhuma fii khoir

.***

Share This Post: