Berkesan dihati

Sejak ayah meninggal aku tinggal bersama ibu dan kedua adikku yang masih kecil-kecil, sakit yang diderita ayah adalah serangan jantung dan sesak nafas berkepanjangan yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong dan akhirnya nyawa ayahku pun melayang sia-sia. Masih lekat dalam fikiranku, dulu ayah sering menyanyikan lagu nina bobo ketika aku akan tidur. Ia juga sering menggendong-gendongku di pundaknya. Aku adalah anak yang paling penurut pada ayah, kemanapun ayah pergi aku selalu ingin ikut dengannya. Tak heran jika aku sangat merasa terpukul ketika ayahku di panggil oleh yang maha kuasa. Ibuku adalah ibu rumah tangga yang sama sekali tidak punya pekerjaan tambahan selain dari mengerjakan rutinitas hariannya sebagai ibu rumah tangga, sehari-hari biasanya ibu hanya memasak, memberi makan dan merawat kami semua. Ayah juga tidak meninggalkan uang dan harta benda sama sekali atau suatu barang yang bisa dijual. Hanya peralatan masak dan sebatang kasur lusuhlah yang kami punya sepeninggalnya. Betapa miris dan sedih kehidupan kami sejak tulang punggung keluarga kami pergi jauh dan takkan pernah kembali lagi, dia telah meninggalkan kami semua. Setiap harinya ibu menangis merasa terpukul akibat kepergian ayah yang secara tiba-tiba. Hingga pada akhirnya ibuku mengalami stress yang mengakibatkan dirinya mengalami gangguan jiwa. Sekarang, akulah yang akan menjadi tulang punggung bagi kedua adikku menggantikan posisi almarhum ayah. Kami tinggal di kota metropolitan, dunia yang sangat kejam tiada belas kasihan. Tak kerja maka tak makan, tak pintar maka takkan beruntung. Itulah kata-kata yang pas untuk daerah yang aku tempati ini. Bersyukur aku masih memiliki rumah, meskipun rumah ini sudah jelek dan ukurannya juga kecil seperti gubuk reot akan tetapi aku merasa senang karena aku bisa tinggal di rumah sendiri tanpa harus menyewa ataupun lontang lantung tinggal di kolong jembatan seperti halnya yang banyak dilakukan oleh anak-anak yang kurang beruntung diluaran sana. Disini hanya satu keluarga lah yang berbudi luhur dan tulus kebaikannya pada kami, yaitu sepasang laki-laki dan perempuan yang terbilang sudah tua biasa aku panggil mereka dengan sebutan nek Ijah dan tuk Ajo. Nek Ijah dan tuk Ajo lah yang kami anggap sebagai orang tua kami setelah ibu di bawa oleh petugas rumah sakit jiwa untuk menjalani pengobatan disana. Kami berharap suatu hari ibu bisa berkumpul kembali bersama kami, karena kami tidak memiliki keluarga lagi selain ibu. Aku yang masih berumur sepuluh tahun harus berjuang sendirian menafkahi kedua adikku yang masih kecil berumur tujuh dan lima tahun. Aku yang masih kecil harus mulai berfikir layaknya orang dewasa, memikirkan bagaimana cara bertahan hidup di kota metropolitan. Nek Ijah dan tuk Ajo sering memberiku nasi bungkus untuk makan kami bertiga, meskipun sekarang kami adalah anak yatim akan tetapi aku sangat merasa segan kepada mereka sebab mereka juga terbilang orang yang kurang mampu dilingkungan sini, hanya saja anak mereka sesekali pulang untuk melihat keadaan mereka dan memberi mereka uang yang lumayan banyak, namun nek Ijah dan tuk Ajo tetap bertahan pada kehidupan mereka yang terbilang miskin. Mereka berdua sangatlah baik dan rajin memberi makan kami bertiga hingga aku menjadi merasa bersalah atas tanggung jawabku sebagai kakak laki-laki tertua bagi kedua adikku. Hari ini aku akan mencoba meraup rejeki diluar sana dengan modal alat musik sederhana yang terbuat dari tutup botol limun, paku dan kayu yang kusulap menjadi sebuah giring-giring. Aku sudah tidak mau menyusahkan kakek dan nenek tersebut, aku ingin makan dari hasil jerih payah sendiri. Aku mulai berjalan menyusuri jalanan yang penuh dengan riap-riup suara bising kendaraan roda dua hingga roda empat. Asap berterbangan kesana kemari memenuhi jalanan, tapi itu tidaklah mematahkan semangat juangku untuk bekerja. Bila ada kendaraan yang berhenti di lampu merah disana jugalah aku berdiri menjajalkan suaraku yang terbilang masih pas-pasan.

“Alhamdulillah, hari ini aku mendapatkan uang lumayan banyak meskipun hanya bisa untuk makan selama dua hari bagi kami bertiga ya Allah” ungkapku di dalam hati.

Aku kembali ke rumah dengan membawakan dua bungkus nasi beserta lauk pauk didalamnya. Adik-adikku merasa sangat senang mendapat bekal makanan dariku. Aku melihat nek Ijah dan tuk Ajo sedang memiliki tamu di rumahnya, mereka terlihat mengenakan pakaian yang bagus dan tampak mahal, aku berjalan kedekat rumah orang tua tersebut, rupanya mereka pun melihat kehadiranku “Roy, sini sebentar nak “ teriak tuk Ajo memanggilku sambil melambai-lambaikan tangannya yang sudah keriput dimakan umur.

Aku bergegas menyahuti panggilan tuk Ajo. Tak ku sangka ternyata mereka berdua akan pergi meninggalkan rumah yang sudah lama mereka tempati tersebut. Aku menanyakan apa perihal penyebab kepergian mereka secara tiba-tiba tanpa memberitahu kami dari jauh-jauh hari, tuk Ajo pun mengatakan jika ia juga tidak menyangka kalau kedatangan anaknya adalah untuk menjemput orang tua mereka yang sudah tua, mereka takut jika orang tuanya akan tidak terurus nantinya kalau selalu berada ditempat yang seperti ini. Sebelum berangkat tuk Ajo dan nek Ijah memberikan aku nasehat agar jangan pernah berputus asa dalam menjalani hidup, aku diminta untuk selalu mengerjakan shalat lima waktu dan harus berbakti pada ibu meskipun ibu sudah masuk rumah sakit jiwa, mendoakan ibu agar segera sehat kembali karna setiap masalah akan ada jalan keluarnya. Mustahil ada malam tanpa ada siang, dan mustahil ada panas jika tiada hujan. Begitulah pesan terakhir orang tua tersebut untukku. Akhirnya mereka pun berangkat meninggalkan aku beserta adik-adikku, aku sangat berterimakasih kepada kedua orang tua itu sebab mereka sudah aku anggap sebagai keluargaku sendiri. Sekarang sudah tidak ada lagi yang akan memperhatikan aku beserta kedua adikku, aku harus belajar menjadi pemimpin yang baik, bertanggung jawab dan bijaksana bagi adik-adikku ini. Aku banting tulang setiap hari di kawasan lampu merah, menjual suara untuk sesuap nasi. Tidak kenal lelah, aku harus mendapatkan uang untuk makan dan kebutuhan sehari-hari bagi kami. Ketika aku sedang mengamen di jalan, ada seorang wanita paruh baya yang menanyakan kemana perginya orang tuaku sehingga aku jadi pengamen seperti ini, aku hanya diam dan tidak mau menjawab. Ia terus mendekatiku dan menawarkan aku untuk ikut bersamanya ke suatu tempat yang disana terdapat banyak mainan dan makanan. Aku tidak berprasangka ini akan baik-baik saja, dan ternyata benar wanita itu adalah perempuan jahat yang hendak menjualku ke orang lain untuk ditukar dengan uang. Terbukti dari caranya memaksa dan mencoba mengangkatku ketika jalanan sudah sepi, aku berteriak namun tiada yang menghiraukan aku, akhirnya aku pun menggigit tangannya dan  melarikan diri, akan tetapi ia terus saja berusaha mengejarku. Kebetulan kantor polisi ada di depan langkahku, aku berlari kearah kantor polisi tersebut. Terllihat wanita itu seperti takut kemudian pergi meninggalkan aku yang berdiri tegak di depan kantor polisi. Aku sangat merasa ketakutan, sebab aku selalu terfikir pada kedua adikku akan bagaimana nasib mereka jika aku berhasil ditangkap orang jahat tadi. Aku bergegas pulang untuk menemui kedua adik yang aku sayangi, tak lupa aku membelikan bekal tiga bungkus nasi untuk aku dan kedua adikku yang sudah menunggu lama dirumah. Ternyata kedua adikku sudah merasa lapar, ketika aku datang mereka bergegas mengambil kantong plastik yang masih tergantung di jariku. Aku merasa sangat kasihan pada mereka, mereka terlihat sangat menikmati makanan yang aku beli itu. Makannya sangat lahap sekali hingga mereka lupa untuk mengajak aku makan bersama, namun hatiku begitu senang melihat kedua adikku masih bisa makan enak meskipun aku harus bersusah payah demi mendapat sesuap nasi bagi kedua adik yang aku cintai. Waktu terus berlalu, dan kini aku sudah tumbuh menjadi seorang anak remaja, tapi sayang pekerjaanku tetap saja menjadi seorang pengamen seperti dahulu, kabar baiknya adalah sekarang aku tidak memakai giring-giring lagi melainkan sebuah gitar yang aku beli dari hasil keringatku selama tujuh tahun ini. Lama bergelut di bidang tarik suara sebagai pengamen membuatku pandai bernyanyi dan juga membuat diriku semakin senang melakoni pekerjaan ini, sampai pada suatu ketika aku melihat iklan tentang akan diadakannya pencarian bakat menyanyi bagi masyarakat. Aku merasa sangat tertarik dan tertantang untuk  mengikuti perlombaan ini, niatku jika menang aku ingin membahagiakan kedua adikku juga ibuku yang sampai saat ini masih berada di bawah penanganan rumah sakit jiwa. Berkat dukungan kedua adikku aku pun berangkat ke lokasi yang tertulis, sebenarnya aku merasa cemas sebab ini adalah kali pertama aku bernyanyi untuk di perlombakan, tapi karna aku teringat akan niat beserta harapanku itu, kembali semangatku memacu-macu untuk menjadi seorang pemenang. Mungkin kali ini aku tidak beruntung, aku tidak terpilih untuk di perlombakan ke tahap selanjutnya. Juri mengatakan jika aku harus mengasah kemampuanku lagi dan jika berminat bisa kembali tahun depan.  Aku tidak merasa putus asa, aku terus bernyanyi dan mengamen dari satu tempat makan ke tempat lainnya. Sesampainya di sebuah rumah makan aku bernyanyi seperti biasa, tapi sayang ketika aku sedang bernyanyi seorang pelanggan memakiku menggunakan bahasa yang kasar, dia juga memintaku untuk pergi karena dia tidak suka diganggu saat makan. Aku merasa sedikit sedih dan tersinggung akibat perlakuannya tersebut, dengan nada tegas aku menepis perlakuan buruknya itu “maaf pak, saya hanya ingin mencari nafkah bagi kedua adik saya. Bapak tidak kenal saya jadi jangan menghina saya, bapak tidak tahu seberat apa perjuangan saya hingga saya bisa mendapatkan sebuah gitar hanya untuk menjadi pengamen. Jika bapak tidak suka bapak bisa katakan secara baik-baik” ia hanya diam dan terlihat mukanya memerah pertanda malu pada setiap orang sebab setelah aku mengatakan hal tersebut padanya banyak orang yang menyoraki bapak tersebut. Ketika aku akan pergi dari tempat itu, seorang ibu-ibu berpakaian glamour keluar dan berlari menghampiriku. Dia mengatakan jika ia sangat suka dengan warna suaraku dan ia tertarik untuk mengenalku lebih lanjut dengan memberikan aku sebuah alamat pada secarik kertas, ia tersenyum dan berpesan agar aku harus datang esok siang ke alamat tersebut. Esok harinya aku pergi ke alamat yang tertulis pada kertas yang diberikan ibu kemarin, disana aku bertemu dengannya. Ternyata ibu tersebut adalah seorang pemilik rekaman music terbesar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Aku ditawari untuk menjadi penyanyi dengannya, bagaimana aku akan mengatakan “tidak” jika ia menawarkan sebuah kebahagiaan padaku. Aku sama sekali tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas nan jarang datang ini. Aku menanda tangani kontrak dengan perusahaan music miliknya, dari sinilah aku akan mulai merintis karierku sebagai penyanyi. Tak ku sangka sengsara membawa nikmat, semoga ini adalah jalanku menuju kesuksesan untuk membuktikan pada kedua adik dan ibuku bahwa aku sanggup dan mampu memikul beban keluarga sendirian. Aku teringat kembali akan nasehat dan pesan tuk Ajo dan nek Ijah,  ternyata nasehat mereka benar adanya. Hari kian berganti dan kini aku telah menjadi seorang penyanyi muda yang terkenal. Kemana aku pergi banyak yang meminta tanda tangan atau sekedar hanya ingin berfoto denganku, aku memiliki uang yang terbilang cukup banyak. Aku sering berkunjung untuk melihat keadaan ibu di rumah sakit jiwa, kian hari tampak perubahan ibu yang semakin membaik hingga akhirnya ibu dinyatakan sembuh total. Ibu sudah layak sembuh sebab waktu yang dipakai ibu berada disana juga terbilang sudah lumayan lama. Aku kembali berkumpul bersama ibu dan kedua adikku, begitu panjang lika-liku kehidupan yang selama ini aku lalui hingga aku tumbuh menjadi seorang pria sukses seperti ini. Aku belum terfikir untuk mencari seorang istri sebab aku masih ingin terus bersama ibu dan adik-adikku selama tiga tahun kedepan. Aku hanya teringat dan rindu sekali kepada kedua orang tua yang sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri yakni sosok nek Ijah dan tuk Ajo. Aku meminta izin kepada ibu untuk mencari tahu dimana mereka tinggal, aku menghabiskan waktu yang lama untuk sekedar mencari tahu tentang mereka sampai pada suatu ketika, aku dipertemukan dengan anak mereka yang dahulu datang menjemput mereka. Tapi sayangnya anak dari kedua orang tua tersebut menuturkan jika kedua orang tuanya sudah meninggal sejak satu tahun yang lalu. Ternyata aku sudah terlambat mencari tahu tentang kedua kakek nenek nan baik budi itu sebab selama ini memang aku sangat sibuk mencari nafkah bagi ibu dan adik-adikku. Aku dibawa berziarah mengunjungi makam mereka, disana aku dapati ternyata benar adanya jika mereka telah tiada. Aku merasa sangat sedih atas kepergian orang tua itu, karna berkat mereka jualah aku sukses seperti ini. Mereka yang paling baik padaku ketika aku hidup susah, mereka menganggap aku dan adikku sebagai cucu kandung mereka sendiri. Meskipun mereka telah tiada tapi nasehat mereka akan selalu ku ingat pada memori, kebaikan-kebaikan mereka yang selama ini tetap akan terkenang di dalam hati.   Seperti kata sebuah pantun, Pulau pandan jauh ditengah dibalik pulau angsa dua. Hancur badan dikandung tanah budi baik dikenang jua.

Share This Post: