Pengemis Tua dan Bis Malam

Angin malam yang menyelinap dari balik ventilasi jendela kaca, sesekali menyingkap kain hordeng dan menampari wajahku yang lelap kelelahan di kursi jok sebuah bis malam. Kursi yang berada di deretan tengah di antara puluhan kursi penumpang lainnya, yang juga lelap istirahat.

Dari arah muka bis terdengar suara perbincangan yang sesekali ditingkahi suara tawa sopir dan kernet yang ditemani pula oleh penumpang yang duduk paling depan. Entah apa yang jadi tema perbincangan mereka. Kulirik keluar jendela kaca, lampu jalanan dan beberapa bangunan bagai siluet warna yang kilasnya berlarian dilintasi laju bis.

Bis malam yang kutumpangi ini memang tengah melaju cukup kencang di atas jalanan bebas hambatan menuju terminal paling ujung di pulau Jawa, kampung halamanku. Kubenahi bantal kecil penopang bahu yang jatuh melorot. Hendak kulanjutkan lelapku yang terganggu singkapan gorden ulah nakal angin malam, namun tak lama kemudian laju bis melambat. Kemudian berbelok menuju sebuah SPBU yang berada di kanan jalan. Rupanya sang sopir hendak melapor jadwal kerjanya pada pos perhentian perusahaan bis swasta yang dikendarainya, mungkin pula sekalian mengisi bahan bakar yang mulai menipis. Entahlah, tak begitu kuhiraukan.

Beberapa penumpang pun mulai terbangun. Satu-dua dari mereka beranjak menuju kamar kecil yang disediakan SPBU. Sebagian lain enggan beranjak dan memilih tetap berada di kursinya masing-masing.

Sebelum bis malam itu kembali melaju di jalanan, tiba-tiba seorang kakek tua dengan tergopoh-gopoh beranjak menaiki bis. Dengan kopiah usang bertengger di kepalanya, dan jaket tua membalut tubuh tuanya, ia merayap naik ke dalam bis. Rupanya seorang pengemis tua yang masih berkeliaran di tengah malam, mungkin tengah mencari sesuap nasi pengganjal perutnya yang lapar.

Kehadirannya di bis malam yang kutumpangi tak mendapat respon sedikit pun dari sopir maupun kernet, atau dari beberapa penumpang yang diminta sedekah ala kadarnya. Kurogoh saku jaketku, selembar uang sepuluh ribuan kembalian ongkos bis kusiapkan untuk sedekah pada kakek tua yang sudah renta itu.

Seringkali tak habis pikir, setua itu masih tetap berkeliaran di jalanan mencari iba dan belas kasihan dari orang sekitarnya. Apa keluarga maupun sanak saudaranya tak ada yang peduli sekedar memberinya makan sekali sehari? Hingga di usianya yang sudah uzur, kakek tua itu masih harus berusaha mencari sesuap nasi di jalanan?

Suaranya yang serak dengan mimik muka memelas berpindah ke deretan kursi penumpang lainnya, seraya menengadahkan tangannya mengharap sedekah dari orang-orang yang berada di dalam bis malam itu. Sebagian yang merasa iba memberinya uang recehan, sedangkan yang lain memilih abai dan melanjutkan lelapnya yang tertunda.

Pengemis tua itu kini tiba di sebelahku, masih dengan tatapan mata lamur dan sayu serta mimik muka memelasnya tanpa sandiwara. Kusodorkan selembar uang yang kusiapkan sejak tadi. Tak lupa bungkusan makanan kecil yang enggan kumakan kuberikan padanya sekedar buat cemilan.

Kakek tua itu menatapku sejenak. Menundukkan wajahnya dalam-dalam dan menghaturkan banyak terima kasih atas pemberianku yang tak seberapa padanya. "Sedekah menghindarkan bala bencana dan menarik rahmat Gusti Allah, Nak. Semoga anak selamat sampai di rumah. Aamiin... " ujarnya dengan suara tuanya yang serak dan tak jelas.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil seraya menatap penuh iba punggung rentanya yang kembali mengharap sedekah menuju detetan kursi penumpang lain. Ingatanku terpesat pada beberapa tahun lampau, ketika aku masih tinggal bersama kakekku yang seringkali menemaniku bermain dan mengajariku mengaji setiap sore menjelang malam.

Beliau pun selalu berujar demikian, menasihatiku mengenai bersedekah, kapan pun dan di manapun, baik ketika sempit maupun lapang, bersedekah adalah kewajiban bagi manusia yang masih memiliki nilai kemanusiaan. Tanpa memandang besar atau kecil jumlah yang disedekahkan, yang penting adalah keikhlasan ketika mengeluarkannya. Meski terkadang, zaman sekarang ada saja segelintir orang yang memanfaatkan hal itu semata demi kepentingan pribadi.

Banyak kudapati orang menenteng kotak amal, berpidato ala kadarnya tentang keutamaan sedekah dan ancaman ketidakberuntungan jika meninggalkannya. Mereka mengharap pemberian sedekah dari pintu ke pintu, ke berbagai kendaraan umum, hingga ke kedai, warung, dan pertokoan. Ujung-ujungnya terkuak pula kedoknya, ternyata hasil sedekah yang dikumpulkannya semata hanya demi memenuhi kebutuhan pribadinya. Segala embel-embel sedekah buat pembangunan madrasah, mesjid, maupun yayasan yatim piatu hanya kebohongan belaka.

Bersama monolog dalam pikiranku yang tak karuan, seiring suara deru mesin bis malam yang kembali melaju kencang di atas aspal jalanan aku pun kembali terlelap. Tak lagi menggubris ulah gorden yang mengibas wajahku dipermainkan angin malam atau pada pengemis tua yang entah telah turun di mana. Aku terlelap kian dalam, makin merekatkan jaket, berbantal jok kursi bis yang terasa nyaman. Bersama hening yang ditingkahi suara deru mesin dan sesekali suara klakson, lelapku pun kian dalam tenggelam ke dalam pusaran alam bawah sadar.

 

***

 

Hingga tiba-tiba sebuah guncangan keras mencerabut ketenangan suasana. Suara decit ban yang direm paksa serta jeritan kepanikan memenuhi ruangan bis malam. Aku terhenyak. Begitu pula dengan puluhan penumpang lainnya. Laju bis kian oleng, semua orang dilanda kepanikan dan ketakutan.

Sang sopir berusaha mengendalikan bisnya yang tiba-tiba oleng. Namun terlambat, bemper bis dengan telak menabrak pembatas jalan. Jeritan dan teriakan takbir terdengar di dalam bis. Aku pun dengan erat berpeluk pada pegangan besi dan menghindari beberapa tas dan barang bawaan penumpang yang meluncur deras dari ruang penyimpanannya. Semua orang dilanda kepanikan. Sedangkan bis semakin kencang meluncur dan terperosok ke dalam jurang.

Bagai bayangan di mimpi yang paling buruk, melihat puluhan tubuh saling bertubrukan, berhimpitan, terjungkir, dan saling tindih dalam ruangan bis yang terjungkir. Aku berusaha meredam kepanikan. Tanganku semakin erat memeluk pegangan besi, sedangkan kedua kaki menubruk atap bis. Tak henti takbir kulantunkan. Inikah akhir dari kehidupanku? Aku beristighfar memohon ampun atas segala kesalahan yang selama ini kulakukan. Ya Allaaaah, batinku menjerit. Mulutku berteriak penuh ketakutan.

Sedangkan bis semakin terperosok kian dalam menuju dasar jurang. Semua orang berteriak, menjerit, ketakutan melanda tanpa jeda. Dan akhirnya sebuah tubrukan yang terdengar bagai dentuman bom membahana menggelapkan pandanganku pada sekitar. Gelap. Teramat sangat gelap.

Sayup kudengar suara gemeretak nyala api membakar ban. Suara-suara rintihan tertahan. Kucoba membuka kedua kelopak mataku, namun terasa berat dan nyeri tak kepalang. Bibirku gemetar melafadzkan nama Tuhan. Kepalaku terasa sangat berat bagai ribuan ton besi menimpa di atasku.

Akhirnya dengan susah-payah perlahan kubuka kedua mata, sekilas hanya kegelapan dan merahnya nyala api yang bersinar terang. Aku berusaha bangkit, namun tubuhku tak mampu kugerakkan sedikit pun. Ya Allah, tak henti kumemohon pertolongan-Nya. Tanganku mulai bergerak, menopang berat dan kesakitan yang kurasakan di seluruh persendian. Tanganku basah, berdarah. Begitupun dada dan perutku, kurasakan ada luka sobekan yang mulai terasa panas dan menyakitkan.

Kukumpulkan tenaga yang seakan raib terhalau malapetaka yang menimpa bis malam  bernasib malang, masuk curamnya jurang dan telah menjadi garis tanganku menjadi tumpangan untuk pulang. Suasana teramat gelap. Tubuh-tubuh tergeletak, dengan luka di sekujurnya. Mungkin tak lagi bernyawa.

Beberapa orang yang masih hidup mengerang kesakitan tanpa punya kemampuan untuk bangkit menyelamatkan yang lainnya. Samar kulihat dari kegelapan di antara pepohonan, sesosok kakek tua yang kukenal berdiri menatap bis yang terbalik dan puluhan penumpang sebagai korbannya. Semakin kuberusaha menajamkan pandangan, semakin aku yakin bahwa yang berdiri di tengah kegelapan itu sosok kakek tua pengemis di dalam bis.

Tanganku yang terasa sakit berusaha melambaikan tangan padanya. Berharap ia baik-baik saja. Di tempatnya berdiri, kakek tua itu menatapku dan membalas lambaian tanganku. Seraya berkata, "Sedekah menghindarkan dari bala bencana anakku..."

 

***

 

Aku terhenyak dari lelap sesaat. Jantungku berdegup keraskeras. Keringat membasahi dahi. Kupandangi sekitar. Aku masih duduk di kursiku. Dan masih berada di dalam bis malam. Puluhan penumpang pun masih duduk di kursinya masing-masing. Kurogoh saku jaket, uang sepuluh ribuan masih berada di sana. Begitu pula sebungkus cemilan yang telah kuberikan pada kakek tua, masih teronggok di sudut kursi jok. Aku beristighfar. Apa yang kualami barusan? Apa hanya sekedar mimpi belaka? Atau jangan-jangan firasat maupun penglihatan yang akan berubah jadi nyata.

Bis malam yang kutumpangi melambatkan lajunya. Tak lama kemudian, seperti yang kualami beberapa saat lalu, berbelok ke arah kanan menuju sebuah SPBU. Dadaku berdebar dipenuhi dengan kekalutan. Situasi yang berulang atau peristiwa beberapa saat tadi hanya sekedar mimpi? Penuh rasa penasaran, aku segera beranjak dari kursiku. Bahuku bersinggungan dengan beberapa penumpang yang hendak turun menuju toilet umum. Mataku gusar mencari sosok kakek tua di sekitar areal SPBU itu, namun tak kudapati. Meskipun setelah berkeliling tak kutemukan sosok pengemis tua itu. Aku beristighfar sebanyak-banyaknya.

Suara klakson bis terdengar memanggilku agar segera naik. Dengan penuh keraguan, langkahku yang berat terpaksa kembali naik. Beberapa penumpang menatapku dengan tatapan sebal. Sang sopir baru saja kembali menghidupkan mesin kendaraannya. Aku masih mematung di hadapan puluhan penumpang. Keringat dingin membasahi jaket yang kukenakan. Dengan keyakinan akan yang terjadi beberapa saat yang lalu, aku pun memberanikan diri berbicara,

"Assalamu'alaikum. Selamat malam bapak-bapak dan ibu-ibu, saudara-saudari yang saya hormati. Tanpa bermaksud atau berprasangka buruk. Saya memohon pada semua agar mengisi perjalanan kita malam ini dengan kebaikan. Berdzikirlah dan agungkan Allah, Tuhan kita serta bersholawat kepada Rasulullah  SAW adalah lebih baik daripada lelap dalam tidur.

"Sekali lagi saya himbau kepada anda semua, mohon dengan sangat agar mengisi sisa perjalanan kita malam ini dengan beramal shalih. Sesuai keyakinan masing-masing. Dan kepada Pak Sopir, mohon agar lebih waspada dan lebih hati-hati mengemudikan kendaraannya. Semoga keselamatan senantiasa menyertai kita semua hingga tiba ke alamat yang kita tuju. Aamiin."

Suara-suara berbisik dan celoteh yang mencibir apa yang kulakukan. Aku tak begitu menggubris perkataan para penumpang, yang pasti kejadian yang beberapa saat lalu aku alami sungguh nyata. Kecelakaan yang menimpa bis malam yang kutumpangi ini, dan kehadiran pengemis tua yang tak kudapati batang hidungnya. Kembali aku duduk di kursiku. Memejamkan mata dan memasrahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa.

***

(Majalaya, medio Juli 2017)

Share This Post: