TAMAN SYURGAWI

"Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS. at-Taubah:18)

 

Seteguk air di gelas kristal yang tersaji di meja kerjanya perlahan mengaliri tenggorokannya yang kering, seraya berharap perasaan kalut yang berkecamuk pun mereda. Masalah-masalah pelik senantiasa menjadi penganan keseharian di perusahaan yang dipimpinnya. Tiada hari tanpa masalah. Bahkan bawahannya yang notabene orang-orang kompeten, lulusan cumlaude dari berbagai universitas ternama, tak pernah becus menangani masalah perusahaan dengan baik dan benar, sesuai harapannya.

 

Believe with your self, betapa ia memegang kata-kata itu, menjadi pegangannya selama ini, hingga perusahaan multinasional yang dipimpinnya bisa berkembang pesat. Tak ada kepercayaan yang bisa ia berikan pada bawahannya, sebesar keyakinan pada kemampuannya sendiri menyetir laju perusahaan. Seolah bahtera raksasa yang ia kemudikan di samudera penuh badai, bakal terancam karam kalau dikemudikan lain nakhoda.

 

Jam digital kesayangannya di sudut meja menunjukkan angka empat tiga puluh. Langit senja tampak jelas keindahannya dari balik dinding kaca ruangannya yang berada di lantai tujuh. Warnanya mulai tersepuh bias merah, begitu indah. Ia selalu merasa nyaman memandang langit dengan awan-awan yang menaunginya. Silus, cumulus, stratus mengapung dengan anggun bak selendang para bidadari surgawi. Berarak-arak penuh riak ketenangan di antara cercah sinar matahari yang hendak tenggelam di peraduannya.

 

Betapa ia merindukan ketenangan, kesunyian, saat dan tempat untuk menyepi, merepih segenap kekalutan serta kegersangan jiwanya.

***

 

 

Seharusnya dari tadi sopir baru itu sudah menjemputnya di depan lobby kantor, tiap kali ia hendak pulang, namun hingga sepuluh menit berlalu, belum juga tampak batang hidungnya. Apa mungkin dia malah tertidur di mobil yang diparkirnya? Atau sibuk bercengkerama dengan sopir lain? Bikin sebal saja, setelah seharian bergelut dengan masalah harus juga ditambah dengan masalah yang tak perlu seperti ini. Dipecat baru tau dia, geramnya sarat kekesalan.

 

Dari tentang arah, sebuah BMW biru tua keluaran terbaru meluncur dengan tergesa menuju muka lobby. Lelaki berusia empat puluhan, berpeci putih, dan berjanggut tipis pengendara mobil itu, tampak ia gusar karena telat menjemput majikannya. Padahal baru satu minggu dia mulai bekerja, menggantikan sopir lama yang sudah berusia lanjut dan memilih untuk pensiun dari pekerjaannya.

 

"Mohon maaf, sa...saya terlambat menjemput Bapak. Semoga Bapak mau memaafkan kekhilafan saya..." penuh kegusaran ia beranjak membukakan pintu samping untuk majikannya.

 

Tanpa sepatah kata pun, pria berbalut jas lengkap, dan menenteng koper mengkilat itu memasuki kendaraannya. Dengan sigap, sang sopir pun segera menutupkan pintu untuknya, lantas tergesa-gesa kembali di balik kemudi. Keempat roda kendaraan pun meluncur perlahan membelah hiruk-pikuk kota metropolitan.

 

Sang sopir yang merasa tak enak atas keterlambatannya berusaha mencari kesempatan berbicara, namun dilihatnya dari balik kaca spion majikannya tengah menyenderkan tubuh lelahnya dan memejamkan mata. Meski ia tahu, majikannya tak benar-benar tidur.

 

"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya Pak. Tadi, di tempat parkir ada orang yang meminta bantuan saya, jadi sedikit terlambat menjemput Bapak..." suara sopir yang terdengar serak dan berat berusaha menekan rasa groginya. Ia menelan ludah seraya berharap majikannya tak memendam kesal berkelanjutan. Ia lirik dari pantulan kaca spion, majikannya tak lagi memejamkan mata, hanya diam dan mulai sibuk dengan koran sorenya. Sopir itu makin merasa tak enak hati.

***

 

 

Laju BMW biru itu telah keluar dari tol. Memasuki jalur sibuk dengan berbagai jenis kendaraan berjubel terjebak kemacetan. Senja telah hampir memasuki gerbang malam. Kegelapan pun perlahan menangkupi ruang bumi. Sopir itu melirik jam tangannya, hampir pukul enam sore. Sekitar 15 menitan lagi mereka baru sampai ke rumah majikannya di sebuah kawasan elite di sudut Jakarta Selatan.

 

Langit senja yang semula memerah sudah mulai berubah warna menjadi kelam. Terdengar lantunan demi lantunan adzan maghrib berkumandang dari pengeras suara mesjid di seluruh penjuru kota. Sopir berpeci putih dan berjanggut jarang itu untuk yang kesekian kali melirik jam digital di dashboard kendaraan yang ia kemudikan. Penuh ragu ia ketika hendak mengungkapkan niatnya.

 

Kembali diliriknya dari kaca spion, majikannya kembali terlelap di kursinya.

 

"Maaf Pak, saya mengganggu istirahatnya. Apa boleh kita mampir dulu ke mesjid di depan jalan?"

 

Sosok yang tengah terpejam itu membuka matanya yang kemerahan.

 

"Bukannya sudah dekat ke rumah saya? Ngapain kamu mampir ke mesjid segala? Kalau cuma buat shalat, nanti di dekat rumah saya juga 'kan bisa?" suara serak majikannya bernada kejengkelan.

 

"Mohon maaf, tapi kalau mampir ke mesjid sekarang, masih sempat untuk shalat berjamaah Pak. Semoga Bapak mengizinkan," 

 

Majikannya merubah posisi duduknya, melirik jam tangannya. Mimik mukanya masih sarat dengan kekesalan.

 

"Kamu sudah membuat kesal saya sedari tadi, jangan bikin saya malah memecat kamu dan menggantikan dengan sopir lain." ujarnya tegas.

 

Sang sopir menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit dan sepat.

 

"Shalat berjamaah di mesjid sangat penting Pak. Saya tak berani meninggalkannya."

 

"Saya sudah cukup bersabar seharian ini, menghadapi masalah kantor, jangan membuat saya kehabisan sisa kesabaran."

 

Sang sopir semakin dilematis. Suara adzan semakin mengiang deras di telinganya. Keyakinannya yang selama ini ia pegang teguh, terhalang situasi dan kondisi yang mengharuskannya taat pada atasan, namun ketaatan pada Sang Khalik jauh lebih wajib ia taati.

 

Ia pun menghela nafas berat. Keputusannya sudah bulat. Lampu send arah kiri dinyalakannya, perlahan ia pun berbelok menuju gerbang mesjid dan memarkirkan mobil mewah yang ia kendarai di areal parkir yang tersedia.

 

"Cukup, kamu benar-benar sudah membuat saya kesal. Mulai besok silakan cari pekerjaan lain."

 

"Maafkan saya Pak, insya Allah setelah shalat maghrib saya kembali lagi buat mengantar Bapak ke rumah." lelaki berpeci putih itu pun segera beranjak dari balik kemudinya dan berjalan menuju mesjid. Iqamat masih belum berkumandang, ia bersyukur masih bisa berjamaah. Sedangkan dari dalam kendaraannya, lelaki berjas rapi itu hanya menahan kejengkelan dan kekesalannya seraya menatap punggung sopirnya di antara jemaah mesjid yang berdatangan.

***

 

Ia bisa saja beralih tempat di balik kemudi dan mengendarai mobilnya lantas beranjak pulang. Namun bunyi handphone di balik saku jas yang ia kenakan menahannya. Seorang rekan bisnis yang sore tadi bertandang ke kantornya, ia menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan sopirnya di areal parkir saat ia kehilangan kunci kendaraannya.

 

Ia katakan, sopirnya itulah yang menemukan dan menyelamatkannya, sehingga pertemuan penting yang harus ia hadiri sore itu berlangsung tanpa keterlambatan. Tak lupa ia pun titip salam pada sopirnya yang dinilainya berakhlak baik, bahkan ia menolak uang ala kadarnya yang hendak diberikannya buat sekedar membalas kebaikannya. Sudah jarang orang sebaik sopirnya yang melakukan kebaikan dengan ikhlas tanpa mengharap balasan. Entah kenapa kekesalan pada sopirnya mulai berkurang setelah menerima kabar dari rekan bisnisnya itu. Perlahan serasa ada tarikan kuat yang tak terkatakan pun terelakan, agar segera ia melangkahkan kaki ke mesjid seperti halnya sang sopir dan para para jemaah mesjid yang berdatangan. Perlahan ia pun membuka pintu kendaraannya dan berjalan pelan sarat keraguan menuju pelataran mesjid. Iqamat mulai berkumandang dari pengeras suara, tanda shalat berjamaah akan segera dimulai. Lelaki itu pun bergegas membuka sepatu dan mengambil wudlu.

 

Deretan para jemaah shalat maghrib di mesjid itu hampir memenuhi seluruh sudut ruang. Seorang imam memulai takbirotul ihram, takbir pertama seraya mengangkat kedua telapak tangannya yang terbuka di atas bahu, serempak pula diikuti oleh seluruh jemaah.

 

Ia pun mengikutinya, mengucapkan takbir dengan takzim, berdiri di atas sejadah, dan bersedekap di antara lurusnya shaf jemaah shalat. Ada ketenangan mengaliri seluruh sendi dan relung jiwanya. Ada kesunyian hakiki yang ia cari dan rindukan selama ini.

 

Lafadz-lafadz yang sekian lama tak pernah dilafalkannya lagi, kini ia ucapkan penuh penghayatan dan kekhusyuan. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Begitu pun ayat-ayat kitab suci yang mengalun dari suara merdu imam yang tartil, mengetuk dinding bathinnya yang telah berkarat.

 

Betapa lama ia merindukan siraman bagi ruhaninya yang kerontang. Betapa lama ia telah menjaga jarak dengan Penciptanya. Kesuksesan yang telah ia raih selama ini malah semakin menjauhkannya dengan yang telah memberi kesuksesan. Kesibukan duniawi telah membuatnya lupa, pada siapa seharusnya ia menyembah dan bersujud merendahkan diri, derajatnya sama rendah dengan tanah.

 

Rakaat demi rakaat ia nikmati dengan penuh taqarub. Tak terasa air matanya pun berlinang ketika sang imam memanjatkan doa-doa seusai shalat. Betapa rindunya ia, betapa kering-kerontangnya.

***

 

 

Sejenak, ia hanya terpaku pada sosok di hadapannya, laki-laki berpenampilan sederhana, berpeci putih. Tatapannya sebening tetesan air, mengalirkan kesejukan dan kelembutan hati. Ketika seluruh jemaah bermusafahah, bersalaman mengeratkan silaturahim seusai shalat dari shaf depan hingga shaf belakang. Dipimpin oleh sang imam, yang kini berada di hadapan lelaki berjas rapi. Tangan mereka bersalaman erat. Keduanya saling bertatapan dalam kehangatan ukhuwah islamiyah. Sang sopir ternyata imam shalat yang suaranya mengalun merdu, menyalami majikannya, lelaki berjas rapi. Keduanya berpelukan erat.

 

"Ajari saya shalat, ajari saya ketenangan jiwa, ustadz..." bisiknya di telinga sang imam. Kesejukan, kesunyian, dan kenikmatan ruhani ternyata ia dapatkan dalam shalat, dalam ruang mesjid yang menjelma taman syurgawi yang tenang dan menenangkan jiwanya.

***

Share This Post: