Bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini pernah melakukan kekerasan pada anak ?

 

 

Pada suatu masa, berita-berita di televisi kita pernah membahas mengenai daruratnya negara kita untuk kasus kekerasan pada anak. Namun, sayangnya, berita tersebut kurang begitu lama menjadi trending topic digantikan dengan isu-isu lainnya. Mungkin, memang juga penting namun entah kenapa saya merasa tayangan berita di televisi nasional kita seperti bermusim, bermasa, dan bertema sehingga sulit untuk menonton dengan jernih. Tapi ya sudahlah, sesuai dengan judul yang akan dibahas pada tulisan kali ini adalah bagaimana kita sebagai pelindung anak bisa berperan dengan baik melindungi anak dari pemangsa anak.

 

Istilah yang dipakai disini memang terkesan mengerikan “pemangsa anak” tetapi kenyataannya memang begitu. Kita semua tahu bahwa anak-anak merupakan generasi penerus bangsa, harapan orangtua, calon pemimpin di masa yang akan datang. Menurut salah satu aliran ilmu psikologi, pengalaman di masa kanak-kanak akan membekas dan mempengaruhi kehidupannya di masa yang akan datang. Nah, bisa dibayangkan jika banyaknya korban-korban kekerasan pada anak ditakutkan tentunya akan ada generasi yang hilang di masa yang akan datang.

 

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak merupakan fenomena gunung es. Data dan laporan kasus yang ada sangat terbatas. Seringkali masyarakat sekitar mengetahui kekerasan yang terjadi, namun kejadian tersebut dianggap sebagai masalah intern keluarga masing-masing sehingga umumnya mereka akan diam dan tidak bertindak. Masyarakat pada umumnya tidak menyadari luasnya pengaruh child abuse ini. Anak-anak yang menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan, dan penelantaran, menghadapi berbagai resiko, seperti: usia yang lebih pendek, kesehatan fisik dan mental yang buruk, masalah pendidikan, dan lain-lain.

 

Kekerasan pada anak sebenarnya bukan hanya kekerasan fisik dan seksual seperti yan sering kita dengar di televisi atau baca di koran. Memang kekerasan terhadap anak seringkali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisik dan seksual. Padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Istilah kekerasan pada anak atau yang lebih dikenal dengan istilah child abuse bisa terentang mulai dari kekerasan yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse); dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural (Huraerah, 2007).Salah saru potret kekerasan struktural adalah perdagangan anak dan perempuan (child and women trafficking). Selain itu, child abuse sering juga digolongkan menjadi kekerasan emosi, fisik, seksual, dan kekerasan berupa ucapan atau perkataan.

 

Jika dilihat, dari pembagian tersebut, tentunya tanpa disadari walaupun berharap tidak kita sendiri pernah melakukan kekerasan pada anak. Lihatlah bagaimana terkadang seorang ibu memarahi anaknya, ketika anak meminta sesuatu orangtua tidak memberikan malah membentaknya. Saat anak mengajak berbicara, orangtua tidak menanggapinya tetapi justru menghardik dengan bentakan. Ya tanpa disadari atau tidak jika anak memiliki kecerdasan setidaknya normal saja ia akan mudah menyerap dan mengingat bahkan meniru apa yang sudah didapatnya. Sehingga tidak heran, jika  saat penulis melihat gaya berbicara anak usia 4- 8 tahun sudah bisa diketahui bagaimana gaya bahasa atau komunikasi orangtuanya di rumah selain apa yang ditontonnya.

 

Bagaimana dengan kekerasan emosi yang dilakukan pada anak? Apa itu kekerasan emosi? Pernahkah sengaja atau tidak sengaja melakukannya?. Hal sepele yang biasanya dilakukan orangtua adalah saat orangtua mengetahui keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun orangtua justru tidak memberikan apa yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Untuk kategori beratnya bisa terjadinya trauma psikologis yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari, seperti ketakutan, kecemasan, depresi, isolasi, dan keinginan agresi yang kuat pada anak. Kebutuhan emosi dasar anak akan kasih sayang tidak terpenuhi dengan baik.

 

Tentunya sebagai orang tua tidak menyadari dan mengakui bahwa hal-hal yang biasanya mereka lakukan dengan dalih untuk mendisplinkan anak, mengajarkan kemandirian, ataupun dengan anggapan sudah biasa akan menolak jika mereka dinyatakan sebagai pelaku kekerasan pada anak. Yaa…, baiklah semoga apa yang menjadi tujuan orangtua tercapai tanpai melukai perasaan anak. Karena diharapkan banyak yang sudah tidak menggunakan kekerasan fisik lagi sebagai hukuman yang diberikan kepada anak. Semoga memang begitu. Aaamiin… Walaupun sebenarnya kalau dikaji lebih dalam masing-masing kekerasan baik fisik, emosi, maupun verbal memiliki dampak yang merugikan bagi anak.

 

Kekerasan fisik pada anak. Tentunya hal ini sudah banyak diketahui oleh orang tua, saat diangkat menjadi berita kekerasan fisik yang terjadi bisa dikategorikan tingkat berat yang bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian seperti kasus Angeline. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga, dan sebagainya.Kekerasan jenis ini akan diingat oleh anak terutama jika akibat kekerasan tersebut meninggalkan bekas. Pernahkah orangtua melakukannya? Berharap tidak, namun untuk kategori ringan kekerasan fisik ini sebenarnya mulai dari gigitan, cubitan, ikat pinggang, ataupun rotan. Alasan hukuman seringkali menjadi dalih orangtua untuk melakukannya walaupun diharapkan orang tua zaman sekarang sudah mengurangi penggunaan hukuman fisik sebagai hukuman karena sudah menjadi kurang efektif. Seperti yang telah disampaikan oleh Umar bin Khattab “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup pada zamannya yang berbeda dengan zamanmu dididik. Sehingga tentunya sebagai orang tua perlunya mengupgrade pengetahuan sesuai dengan perkembangan anak saat ini.

 

Kekerasan yang dianggap paling menakutkan adalah kekerasan seksual pada anak. Yaa, walaupun seperti yang dituliskan diawal bahwa masing-masing kekerasa memiliki dampak negatifnya masing-masing. Kekerasan seksual atau dikenal dengan sexual abuse dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism) maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Pelaku kekerasan seksual ini kebanyak dilakukan oleh orang yang dikenal oleh anak ataupun orang dekat dari keluarga sendiri. Berbagai dampak yang ditimbulkan bagi anak mulai dari perilaku yang menarik diri hingga perilaku yang memberontak.

 

Dari uraian diatas terlihat bahwa dampak dari child abuse begitu kompleks dan mengenaskan. Terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa pemukulan yang bersifat fisik sekalipun dapat menyebabkan kerusakan emosional anak. Efek child abuse terhadap psikologis anak dijelaskan oleh Hofeller dan La Rossa (dalam Huraerah, 2007). Mereka mengemukakan bahwa anak-anak  yang masih kecil sering susah tidur dan terbangun di tengah malam serta menjerit ketakutan. Ada juga yang menderita psikosomatis atau merasa sangat sedih sehingga sering muntah setelah makan dan berat badannya turun drastis. Ketika anak-anak tersebut tumbuh dewasa, anak laki-laki cenderung menjadi sangat agresif dan bermusuhan dengan orang lain. Sementara anak perempuan sering mengalami kemunduran dan menarik diri ke dalam dunia fantasinya sendiri. Dampak lain yang menyedihkan adalah bahwa anak perempuan dapat saja merasa semua anak laki-laki akan menyakiti dan menyebabkan mereka membenci laki-laki, sedangkan anak laki-laki mempercayai bahwa laki-laki berhak untuk memukul. Jika kekerasan begitu dominan, tidaklah mengherankan jika anak-anak kemudian melakukannya dan bahkan terbawa sampai ia dewasa.

 

Kompleksitas dalam penyebab child abuse mengharuskan adanya pendekatan yang fleksibel untuk pencegahan. Usaha pencegahan yang komprehensif memerlukan komponen-komponen yang ditujukan pada anak, keluarga, komunitas, dan masyarakat luas, dengan berbagai cara, pada berbagai tingkatan dari kehidupan anak, untuk berbagai durasi. Di masa yang akan datang, usaha pencegahan dari child abuse akan bergantung pada perkembangan dari infrastruktur penting menyeluruh ke semua tingkatan dari manusia. Hal ini mencakup kumpulan dan manajemen data menjadi lebih baik, evaluasi yang lebih teliti dari intevensi yang dipakai, peningkatan kolaborasi antara pihak pemerintah dengan lembaga masyarakat dan pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana seharusnya seseorang atau keluarga berfungsi dalam masyarakat (Giardino & Lynn: 2010).

 

Sebagai orang tua yang memiliki tanggung jawab pada anak tentunya menjadi tugas tersendiri untuk melindungi anak. Baik dari ancaman yang bersifat dari luar maupun dari diri sendiri yang memang terkadang tidak disadari. Memberikan pengetahuan kepada anak mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang lain kepada dirinya merupakan hal yang penting. Tentunya dengan disesuaikan penyampaiannya dengan usia bahasa anak. Selain itu, sebagai orang tua juga perlu menjalin komunikasi yang efektif dengan anak baik mengenai penerapan disiplin atau pembuatan aturan. Banyak cara lain yang masih bisa dilakukan untuk menghindari diri untuk melakukan kekerasan kepada anak terutama kekerasan fisik ataupun verbal. Namun, tentunya yang memang harus disadari adalah apakah selama ini secara sengaja ataupun tidak sengaja sudah melakukan kekerasan emosional pada anak…???

 

 

 

 

 

Share This Post: