GURU DAN IBU, LEBIH DARI HURA-HURA SEREMONIAL BELAKA

Guru dan Ibu. Dua status ini dapat disebut memiliki kemiripan satu sama lain. Meskipun guru adalah sebuah status profesional yang ditujukan bagi kepentingan di lingkup publik yang luas, sementara ibu adalah status personal yang memiliki lingkup lebih sempit, yakni di dalam lingkungan keluarga. Namun, secara orientasi tujuan dan juga proses yang dilakukan, keduanya memiliki kesamaan yang sukar terbantahkan. Walau dari sisi kesempurnaan tugas pada kacamata personal, tetap beban seorang ibulah yang jauh lebih berat ketimbang seorang guru.

Tak hanya itu saja. Untuk hari peringatan eksistensi keduanya, juga berada pada rentang jarak yang tidak terlalu jauh. Peringatan Hari Guru jatuh pada setiap tanggal 28 November, sedangkan peringatan Hari Ibu jatuh pada tanggal 22 Desember. Dan biasanya, peringatan kedua hari tersebut pun ditandai dengan beragam aktivitas yang cenderung berhura-hura meriah dan mendapatkan perhatian yang sangat besar dalam pemberitaan di media massa. Berbagai kegiatan digelar. Mulai dari yang sifatnya resmi sampai pada acara hiburan yang muaranya adalah memaknai betapa pentingnya kehadiran guru dan juga ibu.

Menjadi guru, demikian pula menjadi ibu, hakikatnya adalah menjadi pendidik, pembentuk karakter. Maka bagi keduanya diperlukan sifat-sifat yang mutlak diperlukan sebagai pendidik yang benar. Bahwa keduanya harus dapat menjadi contoh, membimbing dan memberikan arah bagi keberhasilan anak-anak yang dididiknya.

Guru adalah sebuah profesi yang idealnya ditujukan sebagai lahan pengabdian tanpa mengharapkan balas jasa, tanpa menginginkan ingatan lebih yang melahirkan perayaan-perayaan yang konon jauh dari kemuliaan profesi tersebut. Semata karena panggilan jiwa. Semata untuk melahirkan putra-putri bangsa yang berkualitas, sehingga mampu meneruskan estafet pembangunan kedepan dengan hasil yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Begitupun dengan menjadi ibu,  sebuah status yang mulia, yang mengantarkan anak-anaknya pada jenjang keberhasilan yang diinginkan. Mengandung, merawat, melindungi, mengarahkan dan mendidik, adalah proses yang tak mengenal kata lelah dan berhenti. Jelas, keduanya bukan status yang mudah untuk dijalani.

Membandingkan pendidikan era tempo dulu dengan sekarang sebenarnya tidak cukup adil bila dipandang dari sisi modernitas. Akan tetapi, esensi dan nilai-nilai pengajaran yang dilakukan oleh guru jaman dulu, terasa semakin jauh bedanya dengan guru jaman sekarang. Di mana nilai-nilai moral semakin mengendur seiring paham kebebasan yang diadopsi oleh sebahagian pendidik kita dengan alasan bahwa mengekang kebebasan individu atas nama moral sudah bukan lagi masanya.

Itu masih satu hal. Hal lainnya adalah kemajuan teknologi yang memungkinkan penggunaannya merambah kewilayah pengajaran, mempermudah baik pendidik maupun peserta didik dalam mencari hal-hal yang diperlukan untuk mendukung proses belajar dan mengajar. Namun, ekses negatifnya adalah semakin banyaknya perilaku penjiplakan hasil karya orang lain bagi beban tugas sekolah. Kreatifitas dan kualitas peserta didik, pun pendidik, semakin dipertanyakan.

Belum lagi sederet aksi kekerasan dan kriminalitas, baik yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik, atau sebaliknya, semakin hari semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya. Ironisnya, tindak kekerasan tersebut justru banyak yang dilakukan di lingkungan sekolah, yang seharusnya steril dari berbagai tindakan yang bertentangan dengan etika dan moral.

Selaras dengan kenyataan tersebut, yang tak kalah miris juga semakin merebaknya profil ibu yang bertindak tak selayaknya seorang ibu. Mereka tak hanya menyia-nyiakan peluang sebagai figur yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan generasi muda mendatang, namun semakin mengetengahkan wajah seorang ibu yang jauh dari nilai keteladanan  yang dibutuhkan anak-anak. Kasus kekerasan terhadap anak justru semakin menjadi-jadi di tengah tuntutan akan keberadaan seorang ibu yang cerdas dan mandiri. Padahal, karakter kuat seorang ibu mutlak diperlukan untuk menempa anak-anaknya sebagai pribadi yang diharapkan mampu menjadi pemimpin di masa mendatang.

Lantas, apa yang salah dan bagaimana solusinya? 

Untuk keberadaan guru yang ideal di tengah masyarakat tentu tidak dengan segampang membalik telapak tangan untuk mendapatkannya. Diperlukan sistem pendidikan yang mumpuni dalam mendidik para calon guru. Selain itu, beberapa pendapat mengusulkan perlunya semacam psikhotes atau uji mental dan kesiapan bagi seseorang yang ingin masuk kesekolah tinggi keguruan. Sehingga dapat diketahui dengan jelas motivasi pribadinya untuk menjadi seorang guru. Juga dapat dilihat sejauh mana minat dan pemahamannya terhadap profesi seorang guru. Sehingga ketika seseorang memutuskan untuk menjadi guru, niatnya bukan lagi hanya ingin mendapatkan penghasilan yang cukup lumayan untuk menunjang kehidupannya.

Bahwa peran guru sebagai orang yang dapat digugu dan ditiru harus diposisikan dan ditanamkan dengan benar. Sehingga seorang guru dapat bertanggungjawab penuh terhadap profesi dan pengabdiannya. Dengan demikian, kelak tentu tidak akan didengar lagi adanya guru yang menganiaya atau mencabuli siswanya.

Sementara untuk status seorang ibu, diperlukan kesiapan fisik, psikhis dan keilmuan yang lebih mumpuni, guna menunjang fungsinya sebagai pelindung serta pendidik dalam lingkungan keluarga. Tak ada sekolah bagi seorang ibu, sehingga proses belajar terus-menerus bukan hanya diharapkan secara alami, namun juga mandiri.  Seorang ibu harus rajin menambah wawasan pengasuhannya melalui berbagai cara. Baik dengan rajin berdiskusi terhadap orang-orang yang lebih berpengalaman, mencari ilmu-ilmu yang bermanfaat sesuai kebutuhannya melalui berbagai media.

Peran pemerintah dan berbagai lembaga yang konsern dengan pendidikan pun diharapkan dapat lebih pro aktif dalam melibatkan para ibu. Dengan demikian, sarana untuk mendidik para ibu sejalan dengan statusnya dapat lebih mudah diakses, meskipun mereka tidak berstatus sebagai ibu bekerja. Dan untuk ibu yang berprofesi ganda, sebagai ibu rumah tangga plus wanita karir, juga mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap peran mereka sebagai pendidik bagi anak-anaknya.

Ada banyak hal lagi yang sebenarnya bias dilakukan untuk mendukung kesempurnaan para guru dan ibu, ketimbang tahun ketahun perayaan hari keduanya hanya melulu dikonsentrasika pada hal-hal yang kurang penting. Namun, sering kali hal ini dianggap tak penting dan hanya memusingkan kepala saja. Pun juga, lebih banyak lagi yang beranggapan status seorang guru dan ibu dapat dimatangkan dengan berbekal ilmu yang sudah didapat dan selebihnya proses learning by doing saja. Sebuah opini yang keliru dan harus diluruskan, mengingat di tangan keduanyalah karakter anak-anak bangsa ini dipertaruhkan. Semoga kedepan hal ini dapat menjadi pemikiran serius oleh berbagai pihak yang masih peduli dengan nasib bangsa ini.

Share This Post: