ROMANTIKA

Aku berdiri termangu di ambang pintu. Sebuah ruangan kosong berukuran sekira 3 x 4 cm membentang di depanku. Suamiku berada di tengah ruangan sambil meneliti detil sisinya. Lalu ia berbalik ke arahku sambil tersenyum.

            “Bagaimana, Hani? Cocok?” tanyanya sambil membentangkan kedua tangan. Lagaknya mengingatkanku pada gaya seorang art décor. Aku memaksakan diri untuk tersenyum.

            “Ini adalah penemuan terakhirku yang mendekati kriteria kita, setelah pencarian yang melelahkan. Harga terjangkau, ruangan dan lingkungannya tidak lembab serta bersih, kamar mandi yang sehat dan ada dapur.” Paparnya bersemangat. Aku mengangguk. Yah, dua hal terakhir itu memang paling kutekankan. Karena itulah kebutuhanku sebagai seorang wanita plus ibu rumah tangga. Aku paling tidak bisa mandi atau membuang hajat di tempat yang kotor. Dan dapur kuperlukan untuk menyalurkan hobi masakku sekaligus menyenangkan suami tercinta.

            Ya ya ya, tidak ada yang salah dengan itu semua. Segala syarat yang telah kami bicarakan tampaknya sudah terpenuhi oleh ruangan yang kulihat ini. Toh, tak terlalu mudah juga untukku menerimanya sebagai ‘rumah’ yang akan kuhuni selama dua tahun ke depan. Bayangkan saja, kami bertiga –aku, suami dan anakku- akan melakukan segala kegiatan dalam waktu dua tahun di ruangan sekecil ini. Padahal, seumur hidupku, ruangan seluas ini biasanya hanya berfungsi sebagai kamar tidur. Sedari kecil aku tinggal di rumah besar milik orangtuaku. Lalu menikah dan tinggal di rumah mertua yang sangat besar. Kemudian suamiku pindah tugas dan kami juga menempati rumah yang lumayan luas. Dan kini, suamiku menjalani tugas belajar strata duanya di kota yang berada di pulau yang berbeda dari domisili kami sebelumnya, serta memindahkan kehidupan kami di ruangan yang jauh dari definisi ‘luas’. Duh!

            “Masuklah, Yang. Mana Naomi?” Mas Tri melongok keluar melalui jendela. Aku menunjuk ke pelataran samping. Gadis kecilku itu terlihat asyik mengamati kolam ikan kecil di sudut halaman.

            “Omi! Sini!” serunya dengan riang. Naomi menoleh dan mengangguk. Ia berlari menyusulku ke dalam kamar. Mas Tri membimbingnya.

            “Omi, sekarang di sini rumah kita. Besok, kita akan cari sekolah Omi ya? Kalau Papa tidak salah, ada TK bagus di ujung jalan besar tadi.” Omi mengitari seluruh ruangan dengan sepasang mata bulatnya.

            “Jadi ini rumah kita, Pa? Kenapa kita pindah ke tempat sempit ini? Omi mau balik ke rumah yang dulu aja deh.” Rajuk Naomi manja. Well, apalagi dia yang anak kecil. Aku saja merasa ‘sedikit’ kurang nyaman.

            “Eh, Omi nggak boleh gitu. Lagian, kita di sini juga Cuma dua tahun. Selama Papa kuliah aja. Nanti kalau kuliah Papa sudah selesai, ya kita balik ke rumah yang dulu. Oh ya, biarpun rumah kita sempit, tapi di Bandung ini banyak tempat bermainnya. Juga banyak menjual permainan dan boneka yang cantik-cantik. Nah, Omi mau nggak?” Mendengar kalimat terakhir suamiku, sepasang matanya langsung berkilau dan membulat. Dasar anak-anak, batinku.

            “Mau..mau.., nanti Papa ajak Omi ke sana ya?” rengeknya. Mas Tri mengangguk senang. Masalah telah teratasi. Ia menggendong tubuh mungil Naomi dan mengajaknya berputar-putar. Dan yah, hari ini tepat hari pertama kami sebagai ‘anak kos’.

            Setelah melihat sekeliling rumah, kami mulai berburu barang-barang keperluan rumah tangga. Soalnya, ketika berangkat dari tempat asal, kami tak membawa perlengkapan apapun, kecuali satu set blender dan sebuah magic jar. Jadi bisa dibayangkan, kalau saat ini kami benar-benar ‘shopping’.

            Saat-saat pertama menjadi anak kos, aku masih merasa risih. Bukan apa-apa, tetangga kosku umumnya adalah lelaki. Jadi, aku benar-benar menjadi perempuan di sarang penyamun. Hii..

            Tapi, seiring berlalunya waktu, semuanya perlahan berubah. Aku menganggap mereka semua sebagai adik lelakiku. Terlebih karena umur mereka juga umumnya terpaut jauh denganku. Sekitar delapan sampai sepuluh tahun. Dan umumnya, mereka juga memperlakukanku dengan baik dan sopan.

            Sebagai anak kos, aku memaklumi kalau mereka hidup dengan anggaran yang sangat ketat dari orangtua. Sehingga aku cukup toleran saat mereka meminta ‘sedikit’ beberapa stok belanjaanku. Mulai dari garam, gula, minyak goreng, telur ataupun deterjen. Yah, nggak apalah, pikirku. Setidaknya aku membayangkan bila kelak anakku akan hidup kosan seperti mereka. Semoga saja ada juga yang akan membantunya.

            Dan begitulah, tanpa terasa waktu bergulir begitu cepat. Setengah tahun berlalu dan aku merasa cukup betah. Terlebih karena Bandung adalah salah satu surga dunia yang ada di Indonesia. Gimana nggak, di sini pusatnya segala macam hal. Mulai dari makanan enak, perlengkapan busana dan aksesoris yang trendy banget, berbagai tempat rekreasi yang melenakan dan sebagainya. Dan asyiknya, semua makanan dan perlengkapan busana itu rata-rata berharga ‘sangat murrrahh’. Belum lagi udaranya yang sejuk. Ah, pokoknya susah melukiskannya dengan kata-kata lah. Dan oleh karena itu, ruangan sempit yang kami huni tidak lagi terasa menjepitku.

            Naomi juga sudah masuk sekolah dan menemukan teman-teman sebayanya yang menyenangkan. Demikian juga suamiku. Ia terlihat begitu menikmati perkuliahannya. So, jadi apalagi? Semuanya terasa menyenangkan. Jadi aku tidak berlebihan kalau sependapat dengan sebuah judul film ‘Life is so beautiful’.

            Tapi, semua berubah sejak sebulan terakhir ini. Aku mulai merasakan sedikit kekesalan. Penyebabnya, Jay. Ia salah seorang anak kos di tempatku tinggal. Sebelumnya, anak itu memang sering meminjam sedikit uang padaku. Itu dengan jaminan handphone jaman dulu miliknya. Aku sih oke-oke saja dan tidak pernah memberitahukan pada Mas Tri. Karena sampai beberapa kali ia selalu menepati janjinya.

            Namun tidak di janjinya yang terakhir, sebulan lalu. Ia meminjam uang dengan jumlah yang cukup besar kepadaku. Satu juta rupiah. Dan sebagai jaminan, ia menitipkan televisinya. Tanpa ragu aku meluluskan permohonannya sambil mengingatkan untuk membayarnya tepat waktu. Aku tidak ingin Mas Tri sampai tahu dan akhirnya menimbulkan keributan di antara kami.

            “Yang bener ya, Jay? Kakak mohon kamu menepati janji seperti biasa. Soalnya ini jumlahnya kan tidak sedikit dan Papanya Omi nggak tahu,” kataku menegaskan. Lelaki muda berparas lugu itu mengangguk cepat.

            “Iyalah, Kak. Jangan kuatir. Mana mungkin Jay membuat kakak dalam kesulitan,” sahutnya mantap. Aku tersenyum. Sebenarnya ada sedikit keraguan yang berdetak di dadaku. Namun tak terlalu kuhiraukan.

            Dan, apa yang kutakutkan terbukti. Ini telah lewat dua minggu dari janji Jay. Dan anak itu sama sekali belum menampakkan batang hidungnya di kosan. Aku mulai deg-degan. Bagaimana kalau ia melarikan diri? Tapi kutepis pertanyaan itu sambil menenangkan diri. Ah, kan barang miliknya ada padaku. Kutaksir nilainya sedikit melebihi jumlah uang yang dipinjamnya.

            Sampai suatu hari Mas Tri pulang dengan wajah tegang. Aku menatapnya dengan heran.

            “Ada apa, Mas?” tanyaku hati-hati. Lelaki yang telah kudampingi selama enam tahun itu menatapku serius.

            “Justru itu, Hani. Mas mau tanya, apa Hani ada mengambil dana sebesar satu juta rupiah dari ATM? Tadi Mas mau mengambil uang, tapi jumlahnya berkurang sebesar itu.” Darahku berdesir. Sepertinya aku memang harus mengatakannya pada Mas Tri. Dengan lirih aku mengaku kalau telah menarik uang sebesar satu juta rupiah sebulan lalu. Dan meluncurlah seluruhnya dari bibirku.

            Suamiku menghela nafas berat setelah aku selesai menceritakan semuanya.

            “Hani, kenapa kamu tidak tanya dulu persetujuanku sebelum memberikan uang itu?” tanyanya sedikit gusar. Dapat kulihat kekesalan di wajahnya. Aku dapat mengerti kekecewaannya. Terlebih setelah tahu Jay belum kembali ke kosan.

            “Tapi Mas, kita kan masih punya televisi miliknya. Itu bisa diuangkan kalau memang ia tidak juga muncul.” Aku mencoba sedikit menyejukkannya. Tapi, belum sempat Mas Tri menanggapi, terdengar ketukan beruntun di pintu. Kami saling berpandangan.

Aku bergegas menuju pintu. Seorang lelaki muda perlente berdiri terpat di depanku. Aku tak merasa pernah mengenalnya.

“Mencari siapa, ya?” tanyaku. Lelaki muda itu tersenyum.

“Begini, Bu. Menurut keterangan salah seorang penghuni kos ini, televisi milik Jayandri ada pada ibu ya?” Aku mengerutkan dahi dengan bingung.

“Betul. Memangnya ada apa?”

“Televisi itu sudah empat bulan ini menunggak kreditnya. Sedangkan saya tanya dengan pemilik rumah, Jay sudah sebulan keluar dari kosan ini karena tidak sanggup membayar tunggakan uang kosnya selama enam bulan. Jadi televisi itu akan saya tarik kembali sekarang.” Kata-kata lelaki itu membuatku terhenyak. Sesaat kemudian aku merasa tubuhku lunglai bagai tak bertulang. Untung saja, Mas Tri sigap menangkap tubuhku dari belakang. Kalau tidak, mungkin aku sudah terhempas ke lantai. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi. Yang ada hanya kegelapan dan kepalaku yang terasa berdenyut-denyut.

Saat tersadar dari pingsan, kudapati wajah kuyu Mas Tri di sampingku. Ia tersenyum pahit. Perlahan airmataku berlinang. Dan semakin lama kian deras mengalir. Ia membelai rambutku perlahan.

“Maafkan aku, Mas..” kataku lirih di sela isak. Mas Tri mengangguk pasrah. Tapi aku dapat merasakan kepedihannya. Bahkan aku merasa lebih pedih lagi. Karena aku merasa telah membohongi suamiku. Lelaki yang selama enam tahun selalu berusaha membahagiakanku. Kembali terdengar ketukan di pintu. Kali ini terdengar begitu keras dan membabi-buta. Di selanya kudengar teriakan Naomi.

“Maaa…! Mamaaa..!” Tepatnya jerit tangis. Mas Tri bergegas membuka pintu.

Begitu pintu terkuak Naomi seketika menghambur ke pelukanku dengan wajah basah oleh derai tangisnya yang memilukan. Aku menatapnya tak mengerti. Tapi jantungku langsung berdegup tak karuan saat melihat sekilas telinganya yang berdarah dan…, tidak ada anting emas mickey mouse-nya yang seberat satu gram tergantung di sana. Aku mengangkat wajahnya dengan panik dan menatap kedua telinganya yang berdarah dengan panik.

“Ada apa, sayang? Mana anting Omi? Katakan sama Mama, apa yang terjadi?” tanyaku sedikit panik. Mas Tri juga ikut terbawa kepanikanku.

            “Ada apa, Omi? Cepat ceritain…” Omi semakin sesenggukan.

            “Mamaaa.., anting Omi diminta sama Tante yang di sekolah. Omi nggak kasih tapi ditariknya aja. Dia terus naik motor sama om-om….” Papar Omi di sela tangisnya yang masih bersisa. Aku dan Mas Tri terkesima. Ya Allah, kenapa begitu beruntun cobaan yang Engkau berikan pada kami, desahku pilu. Kupeluk gadis kecilku itu dengan hati teriris.

            “Omi sudah bilang sama Bu Guru. Tapi waktu Bu Guru melihat, Tante itu sudah nggak kelihatan lagi….” Katanya dalm dekapanku. Aku memeluknya semakin erat. Sesaat kemudian, kurenggangkan tubuhnya dari pelukanku. Perlahan jemariku menyeka airmatanya.

            “Sudahlah, Sayang. Tidak apa-apa. Nanti kita beli lagi anting Omi, ya? Yang penting, Omi selamat. Dan sekarang Mama mau ambil betadine untuk mengobati luka di telinga Omi.” Ujarku menenangkannya. Mas Tri mengangguk setuju. Ia meraih tubuh mungil Omi.

                        “Yah, yang dibilang Mama benar. Yang penting Omi selamat. Kita semua tetap berkumpul dan sehat itu adalah harta yang tak ternilai dan harus disyukuri. Lain kali kita semua harus hati-hati. Ini kota besar. Kejahatan ada dimana-mana dan terkadang begitu dekat dengan kita. Jangan pernah percaya penuh terhadap siapapun, oke?” Naomi mengangguk. Aku yakin, biarpun usianya masih sangat belia, ia udah dapat memahaminya.

            Yah, inilah romantika hidup di kota besar. Dimana segala yang enak dan tidak enak untuk dinikmati berbaur jadi satu. Tinggal bagaimana kita untuk pandai-pandai menyikapinya. Dan kini aku merasa begitu rindu dengan kota tempat kami biasa tinggal, serta rumah cukup besar yang menyenangkan. Hmmmh, setahun lagi baru kami bisa menikmatinya.

Share This Post: