RUMAH HIJAU

Aku menatap tajam ke lembaran uang kertas berwarna hijau yang tengah kugenggam. Seakan ingin menembus serat-serat halusnya dan berdiam lama di sana, mengistirahatkan diri. Membawa serta tubuhku yang ringkih, letih dan kepalaku yang tiba-tiba begitu sesak dengan kepingan-kepingan kenangan dari masa lalu. Masa yang telah berlalu.

 

            Lembar hijau, pepohonan hijau dan juga rumah hijau. Tiga hal itu kini seperti rangkaian gerbong kereta yang melintasi pelupuk mata. Menguras rindu, juga airmata.

 

            Sebutir air bening jatuh di ujung lembaran hijau, resap sebagian dan sisanya meluncur ke lantai. Bukan airmataku, tapi sisa hujan yang sejam lalu mengeramasi rambutku. Air itu mengalir dari juntaian poni yang tak tertata rapi.

 

            Aku menatap lekat lembaran hijau di tanganku. Semua berawal darinya, selembar uang kertas dua puluh ribuan yang diangsurkan seorang gadis belia berambut indah, satu jam yang lalu. Kupikir, meski gadis itu berparas cantik, takkan ada yang istimewa darinya yang dapat menyusupi pikiranku dan merebahkan diri dalam ruang ingatan hingga membuatku merekamnya dan memutar ulang saat berdiam, seperti sekarang. Bagiku tadinya, ia tak lebih dari orang-orang tak terjangkau lainnya yang memerlukan jasaku di saat musim penghujan. Orang-orang yang membutuhkanku namun gestur tubuhnya mengesankan kecanggungan tatkala berdampingan dengan tubuh ceking dan kumal sepertiku. Ah, mereka; orang-orang langit yang tak terjamah. Meski kalau kumau, bisa  saja tak sekadar menjamah.

 

            Tapi gadis itu tidak. Ia berbeda, bahkan sejak awal, di detik pertama kami berjumpa.

 

            "Hei!!" Sebuah pekikan halus menghampiri telingaku di antara rinai hujan dan angin yang bergemuruh. Aku memicingkan mata, mengibas tempias hujan yang mengaburkan pandangan.

 

            Aku melihatnya, seorang gadis bertubuh mungil dengan tubuh yang hanya dibalut celana jins dan kaos rajut tak berlengan, berdiri gelisah di beranda mal dan melambaikan tangan pada seorang pengojek payung yang berada di dekatku.

 

            "Sam, jatahmu, tuh." Aku menyikut anak lelaki di sebelahku. Ia menggeleng lemah.

 

            "Untukmu sajalah, Ray. Aku sudah dapat banyak tadi. Sudah kedinginan," tolaknya sambil menggeleng berulang-ulang. Kedua tangannya erat mendekap dada. Susah payah ia menahan geletar di bibirnya. Sepercik iba mengisi hatiku. Kasihan, Sam anak baru yang masih harus beradaptasi lama dengan pekerjaan ini.

 

            "Serius?" Ia mengangguk. Secepat kilat aku mengembangkan payung dan terbang menjemput gadis yang semakin terlihat gelisah itu.

 

            "Payung, Kak?" sapaku begitu tiba di hadapannya. Ia mengangguk.

 

            "Iya. Tapi aku minta diantarkan sampai rumah, mau tidak?" Dahiku mengerut seketika mendengar tawarannya. Sampai rumah? Dimana rumahnya?

 

            "Mau tidak?" Ia mengulang pertanyaannya dengan tak sabar.

 

            "Rumahnya jauh tidak?"

 

            "Dari sini kita menyeberang jalan lalu berbelok di persimpangan. Jalan teruuuusss sampai ke temu gang. Masuk ke gang itu, kira-kira lima rumah dapatlah rumahku. Mau?" Aku berpikir sejenak. Jarak yang akan ditempuh itu lumayan juga jauhnya. Yang pasti aku akan bermandi hujan sepanjang perjalanan itu, karena payung yang saat ini masih berada di tanganku akan beralih padanya.

 

            "Baiklah." Kusanggupi tawarannya tanpa berpikir lebih lama. Kutepiskan kemungkinan flu yang akan semakin berat menderaku. Tak apa, ini rezekiku. Aku membatin sambil mengangsurkan payung pada gadis itu.

 

            Tanpa bicara lagi, gadis itu melangkah cepat di depanku. Payungnya direndahkan hingga hampir menyentuh kepala. Sepertinya itu semacam trik agar tempias hujan tak terlalu jauh menyentuh tubuhnya. Aku berjalan di belakangnya dengan kepala menunduk dan langkah-langkah panjang di antara kecipak genangan air sepanjang badan jalan. Kedua tanganku mendekap dada. Seluruh tubuh telah kuyup kini. Pakaian hanya menjadi selaput ari saja layaknya.

 

            Di bawah lampu merkuri yang redup dan naungan pepohonan raksasa yang melahirkan gulita, bayangan gadis itu seperti siluet yang menarik untuk kucermati. Langkahnya ringan dan lincah menapak, menghindari genangan air dimana-mana. Sesekali ia bahkan lebih memilih untuk berjalan di tengah badan jalan ketimbang harus merelakan ujung celana jinsnya basah tepercik.

 

            Aku terus mengikuti langkah gadis itu hingga memasuki sebuah gang yang sebenarnya cukup lebar untuk disebut jalan. Ia menghentikan langkahnya tepat di sebuah rumah. Rumah yang membuat nafasku tercekat di tenggorokan dan jantungku berdegup kencang di luar kendali kala menatapnya. Aku tersentak, syok. Rumah itu.... Rumah itu melemparkanku jauh ke belakang, pada sebuah masa yang kukubur diam-diam pada lembar kenangan.

 

            "Terima kasih, ya?" Gadis itu menyodorkan selembar uang kertas dua puluh ribu. "Apakah ini cukup?" Aku mematung dengan bibir menggeletar dan gigi bergemeretak menahan dingin yang menyusup pori-pori.

 

            "Ah, kamu kedinginan, ya? Singgahlah ke rumah. Ibuku akan membuatkanmu secangkir minuman hangat," ajaknya dengan ramah. Lembaran hijau tadi urung diserahkannya.

 

            Ibu? Aku mengeja panggilan itu dalam hati. Ada ngilu yang merambat perlahan.

 

            "Hei, hujan semakin deras. Ayo, masuklah dulu..." Tanpa menunggu persetujuanku, gadis itu menarik pergelanganku dan berbagi payung. Kami berlari menuju beranda.

 

            "Duduklah dulu di sini. Aku akan memanggil Ibu." Aku mengangguk perlahan, meski tak mengindahkan perintahnya. Yang kulakukan adalah mengamati rumah yang kujejaki saat ini.

 

            Rumah hijau. Ya, rumah dengan seluruh dindingnya yang berwarna hijau. Juga bunga-bunga hias dan pepohonan hijau di pekarangan serta pot-pot mungil berisi tanaman berdaun yang menghiasi tepian beranda. Begitu sejuk dan tenteram, seperti sebuah rumah di kejauhan, yang saat ini bayangannya memenuhi benakku.

 

            Tak berapa lama, gadis pengguna payungku tadi telah muncul di beranda ditemani seorang perempuan paruh baya berwajah ramah. Gadis itu telah mengganti pakaiannya. Sementara perempuan paruh baya di sebelahnya membawa sebuah nampan berisi secangkir teh panas yang masih mengepulkan uap tebal. Aroma hangatnya menyentuh hidungku.

 

            "Minumlah, untuk menghangatkan tubuhmu," ucap perempuan itu seraya mengangsurkan nampan ke hadapanku. Aku menatapnya rikuh. Perempuan itu tersenyum.

 

            "Minumlah..," pintanya lagi. Aku mengangguk dan mengambil cangkir dengan tergesa. Sambil menyeruput minuman, benakku menyimpan tanya, tentang kebaikan hati ibu dan anak di depanku yang begitu tulus. Mengapa mereka begitu hangat terhadap orang asing, terlebih anak jalanan yang tak jelas asal-usulnya sepertiku? Bukankah umumnya orang-orang selalu menjauh dan membuat batas tegas antara mereka dengan kami, orang-orang yang menjadi sumber berjuta prasangka kejahatan? Tak ada yang berani mendekati kami, tak sama sekali.

 

            "Kamu kedinginan, Nak. Ganti bajumu yang basah itu, ya?" Aku menggeleng.

 

            "Nanti kamu sakit."

 

            "Tidak, Bu. Tak perlu. Saya sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Saya permisi, Bu. Terima kasih untuk minumannya." Aku buru-buru meletakkan cangkir ke nampan dan mengenakan kembali sandal jepit yang tadi kulepas di depan beranda.

 

            "Hei, ini uangmu." Gadis belia yang sejak tadi hanya berdiri memandangiku dari balik bahu ibunya, berseru menghentikan langkahku. Ia menyodorkan lembaran hijau itu. Aku mencomot sekenanya.

 

            "Terima kasih, Kak," sahutku pendek sambil memutar tubuh. Kupungut payung yang tergeletak di lantai dan bergegas melangkah keluar.

 

            "Hei, siapa namamu?!" Seruan itu masih sempat singgah ke telingaku, sesaat sebelum kututup pagar rumah yang juga berwarna hijau. Aku melambaikan tangan dan berlari menjauh, tak hirau sama sekali.

 

            Aku masih memegang lembaran hijau itu, berikut rangkaian peristiwa yang mengikutinya. Aku bahkan masih termangu tanpa mengubah posisi duduk, mencangkung dengan dagu bertumpu di atas lutut. Rumah hijau itu membangkitkan perasaan rindu terhadap rumah yang sama dan seraut wajah teduh yang dulu acap kuseru dengan rengekan manja, "Ibuu..."                  

 

            Ya, rumah hijau yang saat ini mengisi benak dan menggantungi mata adalah rumah hijau yang di dalamnya memuat jutaan kisah manis tentangku, juga ibu. Rumah yang kutinggalkan saat amarah membuncah di dada, meledak-ledak menjilati ketersinggungan awal seorang bocah lelaki yang menginjak remaja.

 

            "Rayhan, jangan pergiiiii!!" Masih terngiang suara itu, beserta airmata yang membasahi wajahnya. Toh, aku tetap pergi.

 

            "Rayhaaaannn!!" Pekikan itu memecah langit, memuntahkan hujan, menyekapku dalam kebimbangan. Meski akhirnya yang menang adalah keputusan keras kepala. Aku pergi. Menjauh, menghilang dalam pekat bersama iringan hujan yang menyumbangkan tangisan.

 

            "Ibu...," desahku perlahan. Sejumput sesal menyusup perlahan, memintal andai-andai. Andai saja malam itu aku dapat berlapang dada menerima kemarahan ibu dan ayah yang memuncak karena pelbagai kenakalan yang kulakoni, nilai-nilai yang amburadul serta bolos hampir sebulan lamanya dari sekolah, tentu kehidupan keras dan terlunta-lunta seperti sekarang takkan pernah kujamah.

 

            Andai aku tak begitu keras kepala untuk minggat meninggalkan rumah, tentu hangat susu coklat yang akan kuterima dari ibu saat dingin menggigit tulang seperti ini. Juga ranjang empuk dan selimut tebal yang setia membungkus tubuh, bukan selembar karton bekas yang membentang di ubin telanjang seperti sekarang.

 

            Rumah hijau, membayangkannya membuatku ingin kembali. Dua tahun di jalanan, beradu keras dengan sesama rekan senasib dan orang-orang dewasa bertemperamen kasar, berebut mengais rezeki lewat rasa iba dan tatapan "Enyahlah...", menumpuk keletihan yang kerap tak tertanggungkan. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa kembali, sementara uang yang didapat selalu habis tanpa sisa? Aku berlari terlalu jauh dari rumah, berharap takkan ada jalan tuk kembali. Padahal, saat ini aku merindukannya. Teramat rindu. Pada rumah, ibu, ayah, bahkan pada buku gambar berisi sketsa manusia super yang pernah kutorehkan. Ah!

 

            Kulipat lembaran hijau di tanganku dengan hati-hati dan memasukkannya kembali ke saku. Beberapa langkah gaduh mendekat. Aku menyimak sekadarnya.

 

            "Makan, Bro!" Seseorang menghentikan langkah di depanku, duduk bersila dan meletakkan sebungkus nasi yang sudah dibuka. Aroma bumbu gulai menyergap hidungku, menggoda.

 

            "Lanjut sajalah," sahutku sambil menggeser duduk, menjauh.

 

            "Kenapa? Tak lapar?" Aku menggeleng. Bocah lelaki di depanku tak menyoal lagi. Ia memilih untuk menikmati makanan secepatnya, mengabaikanku yang megap-megap membungkam lapar.

 

            Hujan turun seperti anak-anak panah yang menghujam bumi. Seperti kemarin, aku mematung di depan mal beserta payung besar. Sejam berlalu, belum seorang pun yang menginginkan jasaku. Orang-orang yang keluar dari mal itu, lebih memilih melambaikan tangan pada taksi. Aku menghela nafas.

 

            "Heiii...." Sebuah suara memekik dari belakangku. Ya, dari belakang, bukan dari mal. Aku membalikkan badan dan mendapati seorang gadis belia melambai dari halte di depan pagar mal. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali. Itu dia, gadis yang kemarin. Bergegas aku berlari, menghampirinya dengan penuh semangat.

 

            "Payung, Kak?" kataku begitu tiba di depannya.

 

            "Ya iyalah. Kamu itu, jangan mencari pelanggan hanya dari mal. Lihat juga orang-orang yang turun dari kendaraan umum di halte ini." Gadis itu menunjuk ke beberapa orang di halte yang berdiri gelisah dan menatapnya. Seketika sepasang mataku berbinar.

 

            "Kalau begitu, ayo kuantarkan Kakak," sahutku bergairah. Namun, gairah itu seketika meredup ketika ia menggeleng.

 

            "Nggak. Antarkan saja mereka dahulu. Kukira mereka hanya ingin dipayungi sampai ke seberang jalan saja. Aku masih bisa menunggu." Aku terkesima, tak percaya dengan kata-katanya. "Sudah, cepat. Mereka mulai tak sabar." Gadis itu memukul lenganku. Aku tersentak , secepatnya menghampiri beberapa orang yang memanggil.

 

            Aku kembali ke hadapan gadis itu setelah halte hanya menyisakan dirinya di sana.

 

            "Sekarang giliran Kakak.." Aku mengibaskan rambut, juga payung. Butiran air berloncatan di sekitarku. Kusodorkan payung itu padanya.

 

            "Kamu nggak kedinginan, ya?" tanyanya mengiringi langkah kami menjejaki jalanan basah. Aku menggeleng sambil menyeka wajah.

 

            "Sudah biasa, Kak."

 

            "Tak pernah sakit?" Aku terbahak. Pertanyaan aneh menurutku.

 

            "Masa iya ada orang yang tak pernah sakit meski terguyur hujan berhari-hari, Kak?" Aku membalikkan pertanyaan sambil terus tertawa.

 

            "Iya juga, ya? Tapi kulihat kamu biasa-biasa saja."

 

            "Masa harus kutunjukkan ingusku pada pelanggan payung, Kak?" Tawa gadis itu pecah berderai.

 

            "Siapa namamu?"

 

            "Rayhan, Kak."

 

            "Nama yang bagus. Kalau aku, Daniella. Panggil saja, Ella." Aku manggut-manggut sembari kembali menyeka wajah.

 

            "Kenapa kamu bisa berada di jalanan?" Pertanyaan itu sudah kuduga akan diajukannya, seperti halnya yang dilakukan para petugas dinas sosial maupun aktivis yang mendekati anak-anak jalanan. Aku diam, tak berminat untuk menjawab.

 

            "Maaf, sepertinya kamu keberatan untuk menjawab, ya? Oke deh, sudah sampai."

 

            Aku menoleh ke kiri, menatap rumah hijau yang menyejukkan mata. Daniella merogoh sakunya dan kembali mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Ia mengangsurkannya padaku.

 

            "Sepertinya ini terlalu banyak, Kak." Gadis itu menggeleng.

 

            "Tidak. Itu sesuai dengan jasa yang telah kamu berikan."

 

            "Tapi..." Daniella meraih tanganku dan memasukkan lembaran hijau itu dalam genggamanku.

 

            "Ambillah. Uang ini banyak gunanya untukmu. Jangan menolak. ," ujarnya tegas.

 

            Aku menggenggam uang itu tanpa berkomentar lagi. Kuambil payung yang disodorkannya dan bergegas pergi.

 

            "Rayhan!" Reflek langkahku terhenti oleh panggilan itu. Aku berbalik dan menatap  Daniella yang berdiri di tengah hujan. "Tunggu aku di halte kalau hujan turun di jam yang sama, ya?!" serunya. Aku tersenyum dan mengangguk.

 

            Daniella memintaku menunggunya di halte saat hujan? Ah, apakah itu berarti akan semakin mendekatkan langkahku pada rumah hijau dan ibu?

 

            Tiba-tiba saja langkahku menjadi seringan kapas, melayang di atas genangan air yang memenuhi badan jalan. Hatiku membuncah dipenuhi semangat. Bayangan rumah hijau itu semakin kerap berkelebat. Juga raut teduh milik ibu yang sangat kurindukan. Kubayangkan kehangatan rumah dan membaui aromanya yang hinggap sesaat. Aku semakin melayang, terbang. Daniella adalah jalanku menuju kehangatan itu.

Share This Post: