SEPINTAS LALU MENGENAI PSIKOLOGI BENCANA

Indonesia adalah negara yang memang tidak asing lagi dengan adanya bencana. Terutama bencana alam,karena sesungguhnya bencana itu tidak hanya bencana alam tapi bisa juga bencana karena ulah manusia seperti perperangan ataupun gagalnya teknologi. Berbicara bencana di Indonesia, tentunya untuk kawasan Sumatera Barat ini sering juga disebut-sebut terutama jika ada kaitannya dengan gempa, tanah longsor, ataupun banjir bandang. Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari proses mental dan kognitif manusia juga mempunyai bidang kajian dalam hal psikologi bencana. Psikologi bencana adalah studi bidang psikologi yang mengkaji tentang dampak psikologis dari bencana dan intervensi psikologis yang dapat dilakukan untuk memulihkan keadaan psikologis orang yang mengalami bencana.

 

Sebenarnya saat terjadi hingga sebelum terjadinya bencana terdiri dari beberapa fase. Saat masa tanggap darurat bencana, banyak bantuan yang harus diberikan. Team yang terjun pertama kali, biasanya team rescue dan medis yang berusaha untuk menyelamatkan orang sebanyak mungkin sehingga mengurangi korban jiwa. Selanjutnya, adalah usaha untuk menjauhkan mereka dari sumber bencana, ke tempat yang lebih aman. Disini lah bekerja pembangunan posko, dapur umum, dll. Lokasi yang aman tentunya perlu juga didukung oleh sanitasi, persediaan makanan dan juga pakaian dan sebisa mungkin senyamannya. Walaupun senyaman-nyamannya tempat pastilah rumah sendiri. Itu wajar.

 

Bencana Alam merupakan salah satu kejadian luar biasa bagi orang yang pernah mengalaminya apalagi jika ia juga mtidak bisa ini, sebenarnya merupakan reaksi yang masih wajar. Belum termasuk kategori trauma atau PTSD. Kenapa? Respon terhadap kejadian yang apapun kita anggap menyakitkan tentu kita akan coba hindari. Sama halnya dengan orang yang baru mengalami kecelakaan, terkadang ada perasaaan takut, was-was untuk mengendarai kembali. Atau boleh juga saat baru putus cinta.. Masih bisa dikatakan stres

 

Nah, kapan dikatakan itu trauma? Dalam psikologi istilah trauma dikatakan dengan PTSD atau post traumatic syndrome disorder. Secara umum, karakteristiknya sama dengan acute stres.

 

DSM-IV-TR kriteria diagnostik untuk gangguan stres akut

A. Orang yang telah terkena peristiwa traumatis di mana kedua berikut hadir:

  1. orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau kejadian yang melibatkan kematian aktual atau terancam atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain
  2.   respon seseorang yang terlibat takut intens, tidak berdaya, atau horor

B. Entah sementara mengalami atau setelah mengalami peristiwa menyedihkan, individu memiliki tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut:

  1. subjektif rasa mati rasa, detasemen, atau tidak adanya respon emosional
  2. Kurangnya kesadaran lingkungan nya
  3. Derealization
  4. depersonalisasi
  5. amnesia disosiatif

C. Peristiwa traumatik yang terus-menerus

D. Ditandai menghindari rangsangan / ara yang membangkitkan ingatan trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, kegiatan, tempat, orang).

E. Ditandai gejala kecemasan atau meningkat gairah (misalnya, sulit tidur, mudah marah,

     kurang konsentrasi, hypervigilance, respon kaget yang berlebihan, gelisah bermotor).

F. Gangguan tersebut menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan bidang

     sosial, pekerjaan, atau penting dari fungsi atau merusak kemampuan individu untuk       mengejar beberapa tugas yang diperlukan.

G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam waktu 4 minggu dari peristiwa traumatik

H. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,   penyalahgunaan obat, obat) atau kondisi medis umum

 

Sementara itu, kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca-trauma (PTSD)

A. Orang yang telah terkena peristiwa traumatis di mana kedua berikut hadir:

1.Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau   kejadian yang melibatkan kematian aktual atau terancam atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain

 2. Seseorang respon yang terlibat intens rasa takut, tidak berdaya, atau horor.

     Catatan: Pada anak-anak, ini dapat dinyatakan bukan oleh tidak teratur atau gelisah perilaku B.

B. Durasi dari gangguan (gejala pada Kriteria B, C, dan D) lebih dari 1 bulan.

C. Gangguan tersebut menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan bidang sosial, pekerjaan, atau penting dari fungsi. Tentukan jika: Akut: jika durasi gejala kurang dari 3 bulan. Kronis: jika durasi gejala adalah 3 bulan atau lebih. Tentukan jika: Dengan Onset Tertunda: jika timbulnya gejala setidaknya 6 bulan setelah stressor.

 

Perbedaan utama dari acute stress dan PTSD ini adalah duration atau lamanya karakteristik itu menetap. Jika acute stres hanya sekitar 2-4 minggu namun kalau sudah PTSD dalam duration 1 bulan. Sehingga, terkadang penggunaan kata "trauma" itu terlalu jumping conclusion. Padahal jika memang anak atau orang dewasa mengalami trauma itu sudah perlu penanganan khusus dari team psikolog atau psikiater. Dan tentunya penanganan trauma ini memerlukan waktu yang tidak sebentar dan perlu intens.

 

Hal ini sama dengan penggunaan kata "korban bencana" disadari memang susah sepertinya menganti kata korban bencana dengan survivor bencana (kasus untuk yang selamat). Sebenarnya dari segi kata saja, secara psikologis itu berbeda saat dikatakan mereka itu korban bencana... Terkesan mereka tidak berdaya padahal sebagai survivor mereka harus bangkit dan optimis menghadapi kehidupan selanjutnya.

 

Apa yang bisa dilakukan setelah itu dari segi psikologi. Perlu dilakukannya PFA (Pychological First Aid) atau seperti P3K sehingga perlu segera namun ini lebih kepada aspek psikologis yang menjadi perhatian. Secara teori PFA ini merupakan cara untuk memberikan dukungan emotional ataupun mengurangi distress dan mencegah munculnya perilaku kondisi mental negatif yang disebabkan bencana atau situasi krisis. Tujuannya juga bisa mengurangi dampak negatif dari pengalaman traumatis, menguatkan fungsi adaptif dan mempercepat proses pulih.

 

PFA ini boleh dilakukan oleh siapa saja tidak harus psychologist karena tidak semua penyintas perlu layanan profesional.Bisa dilakukan oleh orang di sekitar penyintas seperti keluarga, teman, relawan sebagai first responder yang ada di dekat penyintas yang penting mereka ada atau mengetahui keterampilan dasar dari PFA ini.

 

Kondisi yang ingin diciptakan adalah :

  1. Rasa aman
  2. Calming (rasa tenang dan nyaman)
  3. Connectedness to others (rasa tidak sendiri, ada dukungan sosial)
  4. Self efficacy - empowerment
  5. Hopefulness
  6. Safety - Function - Action

Pendamping sebagai facilitator perubahan memiliki kompetensi PFA yaitu

Look - Listen - Link

 

Look : sesegera mungkin berhubungan langsung dengan penyintas. Mencari dan memberikan informasi yang akurat tentang situasi yang ada.

Listen : mendengarkan mereka dengan sepenuhnya apa yang menjadi masalah, terkadang mereka perlu teman untuk sekedar bercerita tidak perlu menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kita penuh.

Link : fokus pada kemampuan yang di miliki penyintas untuk kita kembangkan ataupun jika ada gangguan psikologis atau fisik yang lebih serius bisa refer kepada yang lebih ahli.

 

Kurang lebih begitu tindakan pertama yang bisa dilakukan sebagai intervensi awal untuk mencegah dampak psikologis yang lebih serius. Masih sedikit sesungguhnya ilmu yang bisa diberikan disini mengenai psikologi bencana karena cakupannya yang juga cukup banyak terutama intervensi yang bisa dilakukan. Memang mungkin ada beberapa pendapat menyatakan bahwa jika sudah terjun ke lapangan atau lokasi bencana banyak yang tidak sesuai teori namun menurut saya secara pribadi teori atau ilmu tetap hal yang yang penting sebagai dasar kita melangkah. Tidak menjadi beban sebagai relawan ataupun malah menambah luka kepada para penyintas.

Share This Post: